ENSIKLOPEDIA MUAMALAH PRAKTIS #2
Oleh: Tim Penulis Fiqihmuamalah.com
Bab Jual Beli (Bagian2/3)
E. Syarat-Syarat dalam Jual Beli
Kedua belah pihak dalam jual beli mungkin memerlukan satu atau lebih syarat tertentu dalam akad. Syariat memperbolehkan mereka untuk menetapkan beberapa syarat dalam jual beli. Para ulama fiqh mendefinisikan syarat dalam jual beli sebagai ketentuan yang ditetapkan oleh salah satu pihak akad terhadap pihak lainnya yang memberikan manfaat terkait akad.
Jenis-Jenis Syarat dalam Jual Beli
1. Syarat yang Sah (Valid)
Syarat-syarat ini sesuai dengan esensi akad dan harus dipatuhi berdasarkan sabda Rasulullahﷺ:
المسلمون عند شروطهم
“Kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka.” HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
Para ulama menyepakati bahwa hukum asal syarat adalah sah, kecuali jika terdapat syarat yang dilarang oleh syariat.
Syarat yang sah ini terbagi menjadi tiga jenis:
- Syarat yang sesuai dengan esensi jual beli:
Seperti syarat adanya serah terima dan pelunasan harga. - Syarat yang menguatkan akad dan bermanfaat bagi pihak yang menetapkannya:
Contohnya:
- Menetapkan sifat tertentu pada harga, seperti penangguhan sebagian atau seluruh pembayaran hingga waktu tertentu.
- Menetapkan sifat tertentu pada barang yang dijual, seperti kualitas barang, jenis produksi, atau asal barang.
Jika penjual memenuhi syarat-syarat tersebut, maka akad tetap sah. Namun, jika tidak terpenuhi, pembeli memiliki hak untuk membatalkan akad atau melanjutkan dengan kompensasi atas tidak terpenuhinya syarat tersebut.
Contoh: Penjual harus menilai barang tersebut seolah-olah syarat terpenuhi, lalu menilai barang tersebut tanpa syarat tersebut, dan membayar selisihnya kepada pembeli.
Baca juga: Menghadapi Suami Cuek Panduan Islami untuk keluarga harmonis
Syarat jazai: Termasuk dalam kategori ini adalah syarat jazai, yaitu perjanjian antara kedua belah pihak terkait besarnya kompensasi yang harus dibayar oleh debitur (atau pengurangan tagihan) jika ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat melaksanakannya. Dan ini biasanya dalam akad terkait kontrak pembangunan Gedung dalam akad muqowalah, akad istishna dan taurid (pesanan barang sesuai siat tertentu), dan bukan dalam akad utang piutang.
Syarat ini sah dan dianggap bermanfaat bagi akad, karena mendorong pelaksanaan kewajiban tepat waktu. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa Syuraih berkata:
“Barang siapa yang menetapkan syarat atas dirinya dengan sukarela tanpa paksaan, maka ia wajib mematuhinya.” [1]
3. Syarat yang memberikan manfaat tertentu pada barang yang dijual:
Contohnya:
- Penjual mensyaratkan untuk tinggal di rumah yang dijual selama waktu tertentu.
- Penjual mensyaratkan menggunakan kendaraan yang dijual untuk perjalanan ke tempat tertentu.
- Pembeli mensyaratkan penjual untuk melakukan pekerjaan tertentu pada barang, seperti menjahit pakaian yang dibeli.
Dalilnya adalah riwayat dari Jabir bahwa Rasulullah ﷺ membeli unta darinya dengan syarat unta tersebut digunakan hingga tiba di Madinah. HR Bukhari dan Muslim.
2. Syarat yang Rusak (Tidak Sah)
Syarat yang rusak terbagi menjadi tiga jenis:
1. Syarat yang mengikat akad lain dengan akad jual beli:
Contohnya:
- “Aku menjual barang ini dengan syarat engkau menyewakan rumahmu kepadaku.”
- “Aku menjual barang ini dengan syarat engkau memberiku pinjaman sejumlah uang.”
Syarat ini tidak sah dan membatalkan akad berdasarkan larangan Rasulullah ﷺ tentang dua akad dalam satu akad.
2.Syarat yang bertentangan dengan esensi jual beli:
Contohnya:
- Penjual mensyaratkan agar pembeli tidak menjual barang tersebut atau tidak menghibahkannya.
- Pembeli mensyaratkan agar barang dikembalikan jika ia rugi.
Syarat ini tidak sah, tetapi tidak membatalkan akad, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
من اشترط شرطاً ليس في كتاب الله فهو باطل، وإن كان مئة شرط
“Barang siapa yang mensyaratkan syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka syarat itu batal meskipun berjumlah seratus.” HR Bukhari dan Muslim
3.Syarat yang menggantungkan akad pada kondisi tertentu:
Contohnya:
- “Jika engkau datang kepadaku dengan sesuatu, aku akan menjualnya kepadamu.”
- “Jika si Fulan setuju, aku akan menjual barang ini kepadamu.”
Syarat ini diperselisihkan oleh para Ulama:
Menurut mazhab Hanbali, syarat ini tidak sah, karena esensi jual beli adalah memindahkan kepemilikan pada saat akad, sedangkan syarat ini menghalanginya. Namun, Imam Ibnu Taimiyah membolehkan syarat semacam ini dalam semua akad selama tidak bertentangan dengan syariat[2].
Baca juga: Hukum Cashback dan Komisi Member: Panduan Syariah Lengkap
E. Kesaksian dalam Jual Beli
Disunnahkan untuk menghadirkan saksi dalam jual beli, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah perselisihan dan meminimalkan pengingkaran sehingga lebih diutamakan.
Namun, ini hanya berlaku untuk transaksi yang bernilai besar atau penting, sedangkan untuk barang-barang yang bernilai kecil tidak disunnahkan menghadirkan saksi. Pendapat ini dianut oleh Imam Syafi’i, mazhab Hanafi, Ishaq, dan Ayub.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa menghadirkan saksi adalah wajib dan tidak boleh ditinggalkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas serta menjadi pandangan Atha, Jabir, dan lainnya[3].
Baca juga: Bolehkan Meminta Cerai karena Kebencian?
Ensiklopedia Muamalah Praktis By: Tim Penulis Fiqihmuamalah.com
Referensi
[1] Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah (6/381).
[2] Lihat: Abhats Haiah Kibar Ulama (1/213), Al Jami’ fi Fiqhin Nawazil (64).
[3] Lihat Al Mubdi’ fi Syarhil Muqni’ (4/51) dan Al Mulakhos al Fiqhy Syaikh Shalih Al Fauzan (2/14-15).