ENSIKLOPEDIA MUAMALAH PRAKTIS #1
Oleh: Tim Penulis Fiqihmuamalah.com
Bab Jual Beli (Bagian 1/4)
A. Definisi Jual Beli
- Secara Bahasa. Jual beli berasal dari akar kata ba’a (menjual), bay’an (barang dagangan), dan mabi’un (barang yang dijual)[1]. Dalam pengertian bahasa, jual beli mencakup segala bentuk pertukaran.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab, jual beli berarti mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu, meskipun dalam bentuk pinjaman atau titipan[2].
- Secara Istilah. Definisi yang dipilih dalam fikih adalah pertukaran harta dengan harta, atau manfaat yang dibolehkan, meskipun tidak secara langsung hadir. Definisi ini mencakup pertukaran harta nyata (misalnya, emas dan perak) maupun manfaat, seperti hak penggunaan.
B. Rukun Jual Beli
Rukun jual beli terdiri dari empat hal:
- Rukun pertama dan kedua: Pelaku akad (dua pihak yang berakad)
Kedua belah pihak dalam akad (penjual dan pembeli) merupakan syarat terjadinya akad. Keduanya harus memenuhi syarat sebagai berikut: sudah baligh, berakal, cakap hukum, dan tidak berada dalam status pencegahan hukum seperti kebangkrutan. - Rukun ketiga: Objek akad (barang yang diperjualbelikan)
Barang yang menjadi objek dalam akad adalah pokok perjanjian jual beli. - Rukun keempat: Shighat (pernyataan akad)
Shighat adalah pernyataan ijab (penjual) dan qabul (pembeli) yang jelas atau yang setara dengannya.
Disebutkan dalam kitab Al-Majmu’[3]: “Rukun jual beli ada tiga: pelaku akad, shighat, dan objek akad.”
Dalam kitab Kasyaf Al-Qina’[4] disebutkan: “Rukun jual beli ada tiga: pelaku akad, objek akad, dan shighat.”
C. Hukum Jual Beli dalam Syariat
Jual beli diperbolehkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
- Dalil Al-Qur’an:
Allah berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” ( Al-Baqarah: 275).Allah juga berfirman:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” ( Al-Baqarah: 198). - Dalil Sunnah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad) selama keduanya belum berpisah.” ( Bukhari dan Muslim). - Dalil Ijma’:
Ibnu Qudamah[5] berkata:
“Kaum Muslimin telah bersepakat atas diperbolehkannya jual beli secara umum. Hal ini karena manusia membutuhkan barang milik orang lain, dan pemiliknya tidak akan menyerahkan barang tersebut tanpa adanya imbalan. Oleh karena itu, jual beli disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak.”
- Dalil Qiyas:
Allah mensyariatkan jual beli untuk memberikan kemudahan kepada hamba-Nya, mengingat manusia membutuhkan berbagai keperluan seperti makanan dan pakaian. Hal tersebut tidak mungkin dapat terpenuhi tanpa adanya tukar-menukar barang (muamalah) yang dilakukan antar manusia.
D. Syarat Jual Beli
Pertama: Syarat yang Berkaitan dengan Objek Akad (Barang yang Dijual)
- Barang harus ada saat akad berlangsung:
Tidak sah menjual barang yang belum ada saat akad, berdasarkan kesepakatan ulama.
– Contoh: Tidak sah menjual buah yang belum matang, janin hewan dalam kandungan, atau sperma hewan pejantan.
– Rasulullah ﷺ melarang menjual sperma pejantan (madhamin), janin dalam kandungan (malaqih), dan barang yang tergantung pada masa depan (habal al-habalah).” Abdurrazzaq dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih al Jami’ (6/62) no.6814.
– “Rasulullah melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan).” ( Muslim). - Barang harus memiliki nilai manfaat yang diperbolehkan syariat.
Contoh: Saya jual rumah ini kepadamu dengan harga sekian.
Maka Barang yang tidak ada manfaatnya menurut syariat tidak dianggap sebagai harta[6].
Contoh barang yang tidak sah dijual: bangkai, darah, atau barang haram lain
- Barang harus milik sah penjual:
Rasulullah ﷺ bersabda:
لا تبع ما ليس عندك
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” ( Tirmidzi, dishahihkan oleh Albani).
Maka tidak sah menjual barang yang bukan miliknya pada saat akad.
- Barang harus dapat diserahkan Ketika akad:
Tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahkan saat akad, seperti burung yang terbang di udara atau ikan di laut Kecuali jika ikan tersebut berada di kolam tertutup yang airnya jernih dan dapat ditangkap dengan mudah[7]. Dalilnya adalah Nabi ﷺ melarang jual beli gharar (barang yang tidak jelas statusnya). - Barang harus diketahui oleh kedua belah pihak:
Barang yang tidak diketahui sifatnya atau tidak jelas wujudnya dapat menyebabkan perselisihan, sehingga tidak sah diperjualbelikan[8].
Tambahan Syarat Menurut Mazhab Maliki dan Syafi’i:
- Barang harus suci:
Tidak sah menjual barang najis seperti babi, anjing, dan khamr, dan kulit bangkai sebelum disamak. - Barang tersebut tidak termasuk dalam jual beli yang dilarang:
Contoh: barang hasil curian atau pemaksaan[9].
Kedua: Syarat yang Dianggap Sah pada Pelaku Akad
- Harus memiliki kecakapan dalam bertindak hukum.Hal ini berarti masing-masing pelaku akad harus merdeka (bukan budak), dewasa, dan bijaksana. Oleh karena itu, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, atau budak tanpa izin dari wali atau tuannya.
Namun, terdapat pendapat yang berbeda di kalangan Hanafiyah. Mereka menyatakan:
Akad jual beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum memiliki akal tidak sah, karena kecakapan dalam bertindak
- hukum adalah syarat sahnya akad. Kecakapan tidak akan terbukti tanpa akal, sehingga akad juga tidak sah tanpanya.
- Sedangkan baligh tidak menjadi syarat.
- Mereka juga menyatakan bahwa merdeka (bukan budak) bukanlah syarat sah atau syarat berlakunya akad jual beli[10].
- Harus dilakukan secara sukarela. Hal ini karena kerelaan merupakan syarat sahnya akad. Maka, tidak sah akad jual beli jika salah satu pihak dipaksa tanpa alasan yang benar, berdasarkan firman Allah:
إلا أن تكون تَحَرَةً عَن تَرَاضِ مِنكُمْ
“…kecuali jika perdagangan itu berlangsung atas dasar suka sama suka di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 29).
Dan berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
إنما البيع عن التراضي
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.” HR Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
Namun, jika paksaan itu berdasarkan alasan yang benar, seperti hakim yang memaksa seseorang untuk menjual hartanya guna melunasi utangnya, maka paksaan tersebut dianggap sah[11].
Ensiklopedia Muamalah Praktis by: Tim Penulis Fiqihmuamalah.com
Referensi
[1] Qamus al Muhith karya al Fairuz Abaadi (3/8).
[2] Qamus al Muhith karya al Fairuz Abaadi (3/8).
[3] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi ( 9/149).
[4] Kasyaf Al-Qina’ karya Al Buhuti (3/146).
[5] Al-Mughni, (6/6).
[6] Lihat: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (9/15).
[7] Lihat: Hasyiyah Ibnu Abidin (6/4), Hasyiyah Ad-Dasuqi (11/3-12), dan Syarh Muntaha Al-Iradat (14/2).
[8] Lihat: Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi karya Syekh Shalih Al-Fauzan (2/10).
[9] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (9/15).
[10] Badai’ Ash Shanai’ karya Al Kasani (5/134).
[11] Lihat: Al Mubdi fi Syarhil Muqni’ (4/7), Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab (9/364), Raudhatut Thalibin (499-501).