ENSIKLOPEDIA MUAMALAH PRAKTIS #4
H. Macam-Macam Jual Beli (Bagian 4/4)
Pertama: Macam-Macam Jual Beli Berdasarkan Objek yang Diperjualbelikan[1]
Jual beli berdasarkan jenis barang yang dipertukarkan terbagi menjadi empat:
- Jual Beli Mutlak. Jual beli ini tidak membutuhkan pembatasan atau pengkhususan tertentu. Para fuqaha mendefinisikannya sebagai pertukaran barang dengan utang. Ini adalah jenis jual beli yang paling umum, di mana seseorang dapat menukarkan uangnya untuk mendapatkan berbagai kebutuhan barang. Jenis jual beli ini yang biasanya dimaksud jika disebut secara mutlak.
- Jual Beli Salam. (Penjelasannya akan dibahas pada bagian selanjutnya).
- Riba dan Sharf. (Penjelasannya akan dibahas pada bagian selanjutnya).
- Jual Beli Barter (Muqayadhah). Jual beli barter adalah pertukaran barang dengan barang, yaitu menukar suatu barang dengan barang lainnya, baik berupa harta benda yang bukan berupa emas maupun perak.
Baca juga: Ensiklopedia Muamalah Praktis #1: Definisi, hukum dan syarat bai
Syarat-Syarat Jual Beli Barter:
- Syarat Pertama: Barang yang ditukar bukanlah uang. Jika kedua barang tersebut berupa uang, maka itu adalah transaksi sharf (pertukaran uang). Jika salah satu barang berupa uang, maka itu adalah jual beli mutlak atau salam.
- Syarat Kedua: Kedua barang yang ditukar harus berupa barang tertentu yang jelas (ain mu’ayyanah). Jika salah satu barang tidak jelas, maka ini bukan barter, tetapi jual beli mutlak. Jika barang yang dijual berupa utang dan pembayaran berupa barang, maka itu termasuk jual beli salam.
- Syarat Ketiga: Harus ada serah terima langsung (qabd) pada saat akad barter. Tidak diperbolehkan salah satu pihak menunda penyerahan barangnya.
- Syarat Keempat: Jual beli barter tidak boleh melibatkan barang-barang yang berlaku riba fadhl (riba karena perbedaan takaran atau ukuran).
Baca juga: Ensiklopedia Muamalah Praktis 3: Apa saja syarat sah jual beli?
Kedua: Macam-Macam Jual Beli Berdasarkan Penentuan Harga
- Jual Beli Musawamah (Tawar-Menawar)Musawamah adalah proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli untuk menentukan harga suatu barang. Dalam jual beli ini, penjual tidak menyebutkan modal atau harga pokok barang. Contohnya, pembeli bertanya kepada penjual, “Berapa harga barang ini?” dan penjual menjawab tanpa menunjukkan harga pokok barangnya.
Hukum:
Jual beli ini diperbolehkan selama memenuhi syarat-syarat yang sah dalam akad jual beli, serta tidak melibatkan unsur jual beli yang dilarang (akan dijelaskan lebih lanjut).
- Jual Beli Muzayadah (Lelang) adalah Jual beli ini juga dikenal sebagai bay’ al-dallalah atau bay’ al-munadâh (jual beli dengan seruan).
Definisi:
Secara bahasa berarti saling bersaing untuk menambah harga barang yang ditawarkan.
Secara istilah, Muzayadah adalah ketika penjual menawarkan barangnya di pasar, kemudian para pembeli saling menaikkan tawaran, dan barang tersebut dijual kepada penawar dengan harga tertinggi[2].
Hukum
Mayoritas ulama memperbolehkan jual beli lelang. Namun, Ibrahim al-Nakha’i memakruhkannya secara mutlak, sementara Hasan al-Bashri, Ibn Sirin, dan al-Awza’i memakruhkannya kecuali dalam lelang harta rampasan perang (ghanâ`im) dan harta warisan (mawârîts).
Pendapat yang Terkuat adalah pandangan mayoritas ulama yang membolehkan jual beli lelang.
Mujahid meriwayatkan bahwa tidak ada masalah dalam menjual barang kepada penawar tertinggi. Ibn al-‘Arabi juga menolak pandangan yang membatasi kebolehan lelang hanya pada barang rampasan perang dan warisan, karena kaidah hukum dan hikmahnya berlaku secara umum[3].
Disunnahkan dalam Kasus Tertentu:
Para ulama Hanbali menganjurkan lelang untuk menjual harta orang yang bangkrut agar harga yang didapat lebih tinggi sehingga dapat menyenangkan para kreditur[4].
Kesimpulan:
Pendapat yang memperbolehkan jual beli lelang adalah pendapat yang sesuai dengan keindahan syariat Islam.
Baca juga: Ensiklopedia Muamalah Praktis 3: Mengenal Lafaz Bai & Mu’athah.
Pengaruh Khiyar dalam Jual Beli Lelang
- Khiyar Rujuk. Hak rujuk dalam jual beli lelang berlaku jika penarikan diri dilakukan sebelum ada penawaran lebih tinggi dari pihak lain. Dalam hal ini, berlaku aturan umum bahwa pihak yang memberikan penawaran pertama memiliki hak untuk menarik tawarannya sebelum terjadi penerimaan dari pihak lain.
- Khiyar Majelis. Al-Khattab menyatakan bahwa berdasarkan kebiasaan, jika seseorang menarik penawarannya selama masih dalam majelis, maka ia tidak terikat dengan tawaran tersebut.
- Khiyar Aib. Para fuqaha sepakat bahwa khiyar aib tetap berlaku secara syar’i meskipun tidak disyaratkan oleh pembeli. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa asal dalam jual beli adalah bebas dari cacat. Oleh karena itu, jual beli lelang sama seperti jual beli lainnya di mana khiyar aib tetap berlaku.
Klaim Penipuan Harga dalam Lelang (Ghabn dalam Muzayadah)
Pihak yang mengklaim penipuan harga (ghabn) tidak memiliki hak untuk menarik transaksi terhadap penjual, meskipun barang yang diperjualbelikan memiliki nilai yang jauh dari kebiasaan, kecuali memenuhi tiga syarat berikut:
- Pertama: Orang yang merasa dirugikan tidak mengetahui harga pasar barang yang dijual atau dibelinya.
- Kedua: Klaim tersebut diajukan sebelum berlalu satu tahun sejak akad berlangsung.
- Ketiga: Kerugian yang terjadi tergolong besar (fahish), yaitu lebih dari sepertiga harga pasar barang tersebut.
Ketiga: Jual Beli Amanah
Jual beli amanah adalah jenis jual beli di mana harga barang ditentukan sesuai dengan modalnya, dan dinamakan demikian karena penjual dipercaya dalam mengungkapkan modal barang tersebut.
Jenis-jenis jual beli amanah:
- Jual Beli Murabahah: Penjual menyebutkan modal barang tersebut, lalu menambahkan keuntungan tertentu. Contohnya, penjual berkata kepada pembeli, “Barang ini saya dapatkan seharga sekian, dan saya menjualnya kepada Anda dengan harga sekian,” dengan tambahan atas modalnya.
- Jual Beli Tauliyah: Penjual menjual barang tersebut dengan harga modal tanpa ada tambahan keuntungan maupun kerugian.
- Jual Beli Wadhi’ah (jual rugi): Penjual menentukan modal barang tersebut, lalu menjualnya dengan harga yang lebih rendah dari modal.
Keempat: Jual Beli Berdasarkan Harga Tercantum.
Jual beli ini terjadi ketika barang dijual sesuai dengan harga yang tertulis pada barang tersebut. Akad ini diperbolehkan karena harga telah diketahui oleh kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, pada saat transaksi berlangsung[5].
Baca juga: Hukum Pembagian Hasil Sewa Tanah dalam Islam
Kelima: Penyertaan dalam Barang yang Dibeli.
Jenis jual beli ini terjadi ketika seseorang membeli suatu barang, kemudian menyertakan pihak lain untuk memiliki sebagian dari barang tersebut sesuai dengan bagian harganya. Jika porsi tersebut dijelaskan dan disetujui, maka akad tersebut sah. Namun, jika tidak disebutkan secara spesifik, maka dianggap sebagai pembagian setengah dengan harga setengahnya[6].
Baca juga: Mahar dalam Islam: Hakikat dan juga Esensingya.
Ensiklopedia Muamalah Praktis by Tim Penulis Fiqihmuamalah.com
[1] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (9/8), (38/343), (38/343).
[2] Hasyiyah Dasuqi (3/159), Mughni Al Mughtaj (2/37).
[3] Fathul Qadir (4/354).
[4] Kasyaful Qina (4/432).
[5] Al Mughni karya Ibnu Qudamah (6/266).
[6] Raudhatut Thalibin (580).