Beranda » Syarat Sah Jual Beli (Bagian 1)

Syarat Sah Jual Beli (Bagian 1)

Memahami Pengertian Syarat, Syarat Keabsahan Jual Beli Beserta Dalilnya

oleh Muhammad Ilman Hanif, B.A., M.A.
0 komentar 153 views

Syarat Sah Jual Beli (Bagian 1)

Jual beli merupakan perkara yang sangat penting bagi setiap orang, karena ia adalah sarana utama untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi tidak semua jual beli diakui dan dibolehkan oleh syariat islam, ada hal-hal yang menjadikan akad jual beli tidak sah, oleh karenanya penting bagi kita sebagai seorang muslim untuk mengetahui syarat keabsahan jual beli.

Pengertian Syarat

Syarat secara bahasa berasal dari kata (الشَّرْطُ) artinya adalah tanda yang melekat.

Bentuk pluralnya (jamak) adalah ( شُروطٌ وشَرائِطُ وأشراطٌ)

{ فَهَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَن تَأْتِيَهُم بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ أَشْرَاطُهَا }

“Maka apa lagi yang mereka tunggu-tunggu selain hari Kiamat, yang akan datang kepada mereka secara tiba-tiba, karena tanda-tandanya sungguh telah datang.” [Muhammad : 18]

Syarat secara istilah adalah

ما يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته

“Sesuatu yang jika tidak ada, maka hal yang disyaratkan juga tidak ada, namun jika syarat itu ada, tidak mesti hal yang disyaratkan juga ada atau tidak ada karena keberadaannya itu sendiri.”

Syarat Sah Jual Beli

Apabila kita meneliti, mengkaji, menelaah dalil-dalil dan kitab para ulama maka kita akan dapati bahwa syarat keabsahan jual beli ada 7, yang mana apabila salah satunya tidak terpenuhi maka jual beli tersebut tidak sah, diantara syarat-syarat tersebut:

1. Syarat pertama : Kerelaan dari kedua pihak yang berakad, yaitu mereka harus melakukannya dengan sukarela , baik secara lahir maupun batin. Allah Ta’ala berfirman:

{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأۡكُلُوۤا۟ أَمۡوَ ٰ⁠لَكُم بَیۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ إِلَّاۤ أَن تَكُونَ تِجَـٰرَةً عَن تَرَاضࣲ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِیمࣰا } 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali jika itu adalah perdagangan yang dilakukan atas dasar kerelaan di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 29).

Dan berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wa sallam

عن أَبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : (إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus berdasarkan keridhaan bersama.”

Maka berdasarkan syarat ini, jual beli dengan paksaan tidak sah karena jual beli dengan paksaan tidak memenuhi salah satu syarat sahnya jual beli, yaitu saling ridha.

Namun, apakah ada keadaan di mana jual beli dengan paksaan bisa sah?

Jawabannya: ya, ada beberapa keadaan di mana jual beli dengan paksaan bisa sah, yaitu jika paksaan tersebut dilakukan dengan hak.

Contohnya : Ketika hakim memaksa orang yang bangkrut untuk menjual hartanya guna melunasi hutangnya (orang yang bangkrut adalah seseorang yang hutangnya lebih besar daripada hartanya). Ketika para pemberi hutang meminta untuk menyita harta orang yang bangkrut, hakim memerintahkan orang yang bangkrut tersebut untuk menjual hartanya, dan jika dia menolak, hakim memaksanya, maka dalam kondisi ini orang yang bangkrut menjual hartanya dengan paksaan, dan paksaan tersebut sah, maka jual beli tersebut diperbolehkan dalam kondisi seperti ini.

Contoh lain : Seseorang menggadaikan mobilnya ketika berhutang, kemudian hutang tersebut jatuh tempo dan pihak pemberi hutang menuntut pelunasan hutangnya, akan tetapi pihak yang berhutang (yang menggadaikan) menolak untuk membayar, maka dalam hal ini pihak yang berhutang dipaksa untuk menjual mobilnya agar dapat melunasi hutangnya tersebut. Dan paksaan ini dibolehkan karena dilakukan dengan hak, dan penjualan mobilnya sah.

2. Syarat kedua : Kedua pihak yang melakukan akad harus orang yang sah melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka (al hurr), bertanggung jawab (al mukallaf) yaitu orang yang baligh dan berakal, dan cakap dalam bertransaksi (ar-rasyid).

Maka tidak sah jual beli yang dilakukan oleh seorang budak, karena tindakannya tidak sah kecuali dengan izin tuannya. Demikian juga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya seperti anak kecil atau orang gila, karena jual beli membutuhkan kerelaan, yang tidak mungkin didapat dari orang yang kurang akalnya.

Ada 2 kondisi pengecualian :

1. Kondisi pertama: Jika wali anak kecil atau orang yang kurang cakap (dalam mengelola keuangan) memberikan izin untuk melakukan transaksi, maka transaksi tersebut sah.
Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:

{ وَٱبۡتَلُوا۟ ٱلۡیَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰۤ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدࣰا فَٱدۡفَعُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡ أَمۡوَ ٰ⁠لَهُمۡۖ }

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.” [Surat An-Nisa’: 6]

Maksud dari firman Allah “ujilah anak yatim” adalah menguji mereka untuk mengetahui apakah mereka sudah cakap dalam bertransaksi.

Ujian ini dapat dilakukan dengan membiarkan mereka melakukan jual beli, agar kecakapan mereka dapat diketahui. Ini menunjukkan bahwa transaksi yang dilakukan oleh anak kecil sah jika dengan izin walinya.

Hal yang sama berlaku bagi (as safih) orang tidak cakap dalam bertransaksi (sangat boros misalnya) yang berada dalam pembatasan transaksi (al mahjur alaihi), transaksinya sah jika dengan izin walinya.

2. Kondisi kedua : Apabila transaksi yang dilakukan adalah transaksi yang kecil atau atas sesuai hal yang sepele. Seperti : membeli roti, permen dan sejenisnya, maka transaksi tersebut sah dilakukan oleh mereka tanpa izin walinya.

Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Abu Darda radhiyallahu ‘anhu pernah membeli burung dari seorang anak kecil, lalu melepaskannya. Dan juga alasan adanya larangan (untuk mereka) adalah untuk mencegah kerugian harta yang besar, sedangkan hal ini tidak berlaku pada perkara yang kecil.

Sumber:

– Fiqhul Muamalat Al Maliyah Al Muyassar Dr. Abdurrahman Al Muthairi

– Video Syarh Akad Muawadoh Syeikh Dr. Saad Al Khatslan

Oleh : Muhammad Ilman Hanif

Madinah, 22 Oktober 2024

 

 

You may also like

Tinggalkan komentar

kosultasi syariah