Beranda » Mahar dalam Islam: Esensi, Hakikat, dan Panduan Menghindari Mahar Berlebihan

Mahar dalam Islam: Esensi, Hakikat, dan Panduan Menghindari Mahar Berlebihan

Memahami Peran Mahar dalam Pernikahan dan Mengapa Besaran Mahar Tidak Menjadi Penentu Kemampuan Suami

oleh Abdullah Ramadhan
0 komentar 219 views

KONSULTASI SYARIAH 

Pertanyaan:

Apa sebenarnya esensi mahar dalam pernikahan yang diajarkan oleh syariat Islam? Apakah sebagai bukti kemampuan laki-laki dalam menafkahi istrinya? Ataukah sebagai satuan nilai untuk mengukur harga diri perempuan sebagaimana yang diterapkan oleh sebagian masyarakat? Tidak jarang ditemukan pada beberapa daerah atau suku tertentu yang memiliki adat istiadat dalam menentukan mahar pernikahan, di mana mahar pernikahan ditentukan berdasarkan marga, jenjang pendidikan, pekerjaan, atau status sosial lainnya. Bagaimana Islam menyikapi fenomena mahar pernikahan yang dibuat terlalu besar sehingga terkadang laki-laki merasa ragu untuk menikah atau harus berhutang ke pihak lain untuk membiayai pernikahan?

Ahmad Abdul Mu’in – Mataram

Baca juga: Bolehkan Meminta Cerai karena Kebencian?

Jawaban:

Bismillahirrahmanirrahim 

Pertanyaan ini akan kami perinci untuk memudahkan dipahami, sebab ada beberapa pembahasan dalam satu pertanyaan.

Pertama, Apakah esensi (hakikat) mahar dalam pernikahan dalam syariat islam?

Jawaban:
Mahar adalah perintah langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Berikanlah (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)

Sehingga demikian, mahar adalah pemberian seorang suami kepada istrinya yang disebabkan adanya akad pernikahan.

Abdul Wahhab Khallaf mengatakan,

المهر هو الحق المالي الذي تستحقه الزوجة على زوجها بالعقد عليها، أو الدخول بها

“Mahar adalah hak istri berupa harta atas suaminya dengan adanya akad nikah atau setelah terjadinya hubungan suami-istri.”

Maka, mahar adalah kewajiban yang harus diberikan seorang suami kepada istri dan tidak sah pernikahan tanpa mahar. Mahar dapat berupa harta dengan berbagai bentuknya, atau sesuatu yang dapat diambil upahnya (jasa) atau manfaat yang kembali kepada sang wanita.[1]

Baca juga: Menjual Barang Yang Dicicil Kepada Orang Lain, Bolehkah?

Pertanyaan kedua, Lalu apakah mahar merupakan bukti kemampuan atau kesanggupan seorang laki-laki dalam menafkahi istrinya?

Jawaban:
Jika dikatakan mahar sebagai barometer mutlak untuk mengukur apakah mampu atau tidaknya seorang suami, maka ini tidak benar. Sebab, di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam prakteknya yang terjadi tidak demikian. 

Sebagaimana kisah seorang sahabat yang akan menikah tapi tidak memiliki harta, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki nilai dan harga walaupun hanya cincin besi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat tersebut,

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ

“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”[2]

Besaran nilai mahar tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan saling ridha. An-Nawawi menjelaskan,

في هذا الحديث أنه يجوز أن يكون الصداق قليلا وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان، لأن خاتم الحديد في نهاية من القلة، وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف

“Hadits ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf.”[3] 

Dari kisah sahabat tersebut dapat dipahami bahwa nominal mahar bukanlah menjadi tolak ukur mampu tidaknya seorang menafkahi istrinya. Sebab nafkah dalam syariat tidaknya hanya berupa nafkah yang sifatnya lahiriah tetapi juga nafkah yang sifatnya batin.

Betapa sering kita dapati terkadang seorang suami mungkin mampu memberikan mahar dan nafkah dengan nominal yang besar kepada sang istri akan tetapi sang istri sama sekali tidak merasakan kebahagian karena hilangnya nafkah batin dan yang berkaitan dengannya.

Tujuan pernikahan adalah menjaga kehormatan diri, baik bagi lelaki maupun wanita. Telah ada ayat yang jelas dari Allah Ta’ala tentang jaminan atas hambanya yang berusaha menjaga kehormatan dirinya dengan pernikahan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚإِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗوَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32)

Dalam ayat ini seminimalnya ada dua faidah yang bisa kita ambil,

  1. Sampai seorang budak sekalipun diperintahkan untuk menikah, bukti bahwa pekerjaan bukanlah standar kemampuan dalam pernikahan.
  2. Jaminan langsung dari Allah bagi mereka yang miskin namun berusaha menjaga diri dengan pernikahan.

Meski demikian, tidaklah berarti bahwa dengan ini seorang bermalas-malasan untuk bekerja. Sebab Allah juga memerintahkan kita untuk memberikan hak keluarga, baik istri dan anak. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233)

Juga bukan sebagai sesuatu yang mengukur harga diri seorang wanita. Tentu ini juga ini tidak benar!

Sebab, jika sekiranya mahar sebagai tolak ukur harga diri seorang wanita, maka sangat mustahil Rasulullah menjadikan cincin besi sebagai mahar yang itu adalah sesuatu yang murah, sebagaimana telah kami sebutkan pada hadits sebelumnya.

Amat sangat rendah martabat seorang wanita dalam islam jika memang mahar adalah sebagai tolak ukur harga dirinya, sementera telah sangat jelas bagaimana islam meletakkan kemulian seorang wanita.

KESIMPULAN, bahwa mahar bukanlah tolak ukur kemampuan seorang lelaki dan bukan pula sebagai tolak ukur harga diri seorang wanita. Akan tetapi hakikat dari mahar adalah : 

  1. Bentuk ketaatan atas perintah Allah
  2. Bentuk ittiba’ (mengikuti) sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam

Baca juga: Menghadapi Suami Cuek Panduan Islami untuk keluarga harmonis

Pertanyaan ketiga, bagaimana islam memandang mahar yang terlampau berlebihan, bahkan terkadang di sebagian daerah, semakin tinggi pendidikan seorang wanita maka maharnya semakin tinggi dan lain sebagainya?

Jawaban:
pada asalnya, besar kecilnya mahar yang diberikan adalah berdasarkan keridhaan masing-masing kedua pihak. 

Jika pihak wanita menentukan mahar tertentu yang dipandang cukup besar, akan tetapi pihak lelaki menyanggupinya dan ridha dengan hal tersebut maka tidak ada menjadi sebuah masalah. Demikian pula sebaliknya, jika pihak wanita tidak memberatkan, artinya tidak menentukan suatu besaran mahar tertentu dan pihak wanita  ridha dengan hal tersebut pun tidak mengapa.

Oleh karenanya al-Hafidz an-Nawawi ketika mensyarah hadits,

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ

“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”

An-Nawawi menjelaskan,

في هذا الحديث أنه يجوز أن يكون الصداق قليلا وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان، لأن خاتم الحديد في نهاية من القلة، وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف

“Hadits ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf.”[4]

Meski demikian, telah datang dalil-dalil yang menganjurkan agar mempermudah dalam mahar.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu,

خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ

“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.”[5]

Lihatlah pula contoh mahar yang disebutkan dalam hadits yang sebelumnya kami sebutkan.

Asy-Syaikh bin Baz ketika ditanya permasalahan ini maka beliau memberikan contoh, beliau mengatakan[6]

“Mahar yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya pun hanya bernilai 500 Dirham, yang pada saat ini senilai 130 Real, sedangkan mahar putri-putri beliau hanya bernilai 400 Dirham. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tuladan yang baik”.[Al-Ahzab/33:21]

Oleh karenanya manakala beban biaya pernikahan itu semakin sederhana dan mudah, maka semakin mudahlah penyelamatan terhadap kesucian kehormatan laki-laki dan wanita dan semakin berkurang pulalah perbuatan keji (zina) dan kemungkaran, dan jumlah ummat Islam makin bertambah banyak.

Semakin besar dan tinggi beban perkawinan dan semakin ketat perlombaan mempermahal mahar, maka semakin berkuranglah perkawinan, maka semakin menjamurlah perbuatan zina serta pemuda dan pemudi akan tetap membujang, kecuali orang dikehendaki Allah.

Maka nasehat kepada seluruh kaum Muslimin di mana saja mereka berada adalah agar mempermudah urusan nikah dan saling tolong menolong dalam hal itu. Hindari, dan hindarilah perilaku meununtut mahar yang mahal, hindari pula sikap memaksakan diri di dalam pesta pernikahan. Cukuplah dengan pesta yang dibenarkan syari’at yang tidak banyak membebani kedua mempelai.

Demikian halnya terkait penentuan mahar berdasarkan strata pendidikan dan sosial seorang wanita, ini sama sekali tidak benar. Sebab akad pernikahan bukanlah akad jual beli, dimana semakin tinggi kualitas barang semakin mahal pula harganya. Betapa rendahnya jika kemudian akad pernikahan disamakan dengan akad jual beli.

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua, Wallahu A’lam.

Baca juga: Hukum Cashback dan Komisi Member: Panduan Syariah Lengkap

Referensi: 

  1. Al-Qur’an
  2. Al-Minhaj syarh shahih Musli, An-Nawawi
  3. Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Abdul Wahhab Khallaf 
  4. Kitab Ad Da’wah, Al-Fatawa hal 166-168 dari Fatwa Syaikh Ibnu Baz

Dijawab oleh: Abdullah Ramadhan

Artikel Fiqihmuamalah.com 

Madinah an-Nabawiyyah, 28 Jumadal Akhir 1446 H


[1] Kitab ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Abdul Wahhab Khallaf hlm. 76

[2] HR. Bukhari dan Muslim

[3] Syarh Shahih Muslim 9/190

[4] Syarh Shahih Muslim 9/190

[5] Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan redaksi ” Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah”. Dan oleh Imam Muslim dengan lafazh yang serupa dan di shahihkan oleh Imam Hakim dengan lafaz tersebut diatas

[6] Kitabud Da’wah, Al-Fatawa hal 166-168 dari Fatwa Syaikh Ibnu Baz

You may also like

Tinggalkan komentar

kosultasi syariah