Konsultasi Syariah
Latar belakang:
Seorang ikhwan menikah dengan muslimah yang ayahnya muslim tapi tidak shalat dan tidak percaya dengan hari kebangkitan, apakah pernikahan tersebut sah karena yang menjadi wali ayah tersebut?
Pertanyaan:
Apakah ayah yang tidak solat dan tidak beriman dengan hari kebangkitan sah menjadi wali dalam pernikahan? Jika sudah terlanjur menikah apakah akadnya harus diulangi dengan wali hakim?
Maman- Depok
Baca juga: Bagaiamana Cara yang Adil saat Membagi Warisan Keluarga
Jawaban:
Bismillahirrahmanirrahim
Dalam menjawab pertanyaan di atas, kita tidak dapat menghukumi secara langsung namun akan merinci beberapa hal yang akan terbagi menjadi tiga poin utama.
-
Syarat Wali Nikah
Kita mengetahui bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang agung di dalam syariat islam. Konsekuensi pernikahan yang sah adalah dihalalkannya kemaluan, dengan menikah seseorang dapat menjaga kemaluannya yang merupakan kehormatan dari setiap muslim. Selain itu, Allah ﷻ juga menyifati pernikahan sebagai perjanjian yang berat, yaitu dalam surah An-Nisa:
وَكَيفَ تَأخُذونَهُ وَقَد أَفضى بَعضُكُم إِلى بَعضٍ وَأَخَذنَ مِنكُم ميثاقًا غَليظًا
Bagaimana kamu mengambilnya (kembali) padahal sebagian kamu telah menjalin hubungan dengan sebagian yang lain, dan mereka telah mengambil dari kalian perjanjian yang berat. (QS. An-Nisa: 21)
Pernikahan yang sah memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya wali bagi calon mempelai wanita, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radiyallahu ‘anhu:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan seorang wali” (HR. Abu Dawud: 2085)[1]
Adapun wali yang paling berhak untuk menikahkan seorang wanita adalah ayahnya, namun ayah disyaratkan beragama islam, syarat tersebut merupakan ijma’ dari para ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah menukilkan Ijma’ tersebut dalam kitabnya al-Mughni:
أما الكافر فلا ولاية له على مسلمة بحال ، بإجماع أهل العلم
“Adapun orang kafir, maka dia tidak memiliki kewalian atas seorang Muslim dalam keadaan apa pun, berdasarkan ijma’ para ulama” (377/9)[2]
Baca juga: Titip Transfer untuk Teman: Memahami Apakah Termasuk Riba?
-
Hukum Meninggalkan Sholat
Orang yang meninggalkan Shalat terbagi menjadi dua kategori, yaitu:
1. Meninggalkan karena dia menolak syariat maka hukumnya kafir secara ijma’, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullah:
أجمع المسلمون على أن جاحد فرض الصلاة كافر يقتل إن لم يتب من كفره ذلك
“Kaum Muslimin sepakat bahwa orang yang mengingkari kewajiban shalat adalah kafir, dan dia dihukum mati jika tidak bertobat dari kekufurannya tersebut.” (149/2)[3]
2. Meninggalkan karena rasa malas maka para ulama berbeda pendapat di dalam hal ini. Ulama yang menghukuminya sebagai kekufuran berdalil dengan sabda Nabi ﷺ :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya antara seorang hamba dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat.”(HR. Muslim: 82)[4]
Baca juga: Mahar dalam Islam: Apa Hakikat dan Esesnsinya?
- Hukum Mengingkari Hari Akhir (Kiamat)
Mengingkari iman kepada hari akhir merupakan pembatal keislaman, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena iman kepada hari akhir merupakan pokok keimanan yang harus dipenuhi seorang muslim, Allah ﷻ berfirman di dalam Al-Quran:
وَمَن يَكفُر بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَقَد ضَلَّ ضَلالًا بَعيدًا
“Dan barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh ia telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 136)
Ayat ini menegaskan bahwa seseorang yang mengingkari salah satu pokok ajaran iman seperti kepercayaan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, berarti ia telah kafir dan tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh.
Baca juga: Kekayaan: Nikmat atau Cobaan? Panduan Islami Mengelola Harta
Kesimpulan
Meskipun dua perilaku di atas merupakan kekufuran, namun kami menyarankan kepada penanya untuk mempertemukan ayah dengan seorang Ustadz yang mumpuni dalam ilmu agama yang berada di daerah sekitar, karena menghukumi kafirnya seseorang bukanlah hal yang mudah, diperlukan seorang ahli dalam hukum syariat untuk mengukur, memberikan nasehat dan berdiskusi dengan ayah secara langsung. Nantinya Ustadz tersebut dapat melihat apakah terdapat kejahilan (kebodohan) atau syubhat (kerancuan) di dalam diri ayah yang menjadikannya melakukan perilaku tersebut. Di lain sisi, hendaknya ustadz tersebut juga memberikan penjelasan kepada ayah hukum-hukum di atas, kemudian memintanya bertaubat dan memperbarui keislamannya.
Jika akhirnya terbukti bahwa ketika akad nikah ayah telah terjatuh dalam kekufuran wal ‘iyadzu billah, pernikahan yang telah dilakukan tidak sah menurut mayoritas ulama. Solusinya yaitu melakukan akad baru dengan menghadirkan wali beragama islam; dahulukan ayah jika ayah sudah bertaubat dan memperbarui keislamannya, kemudian paman (saudara ayah), anak sang wanita atau keturunannya, kemudian orang terdekat dari kalangan Ashabat (dalam ilmu waris), jika tidak ada yang bisa menjadi wali dari golongan tersebut, pilihan terakhir adalah wali hakim. Selain itu, diwajibkan juga untuk menghadirkan dua saksi muslim dan mahar yang baru.
Baca juga: Bolehkan Meminta Cerai karena Kebencian?
Catatan:
Tidak perlu mendaftarkan kembali pernikahan kepada pihak berwenang seperti KUA karena yang dibutuhkan adalah memperbarui akad pernikahan.
Wallahu a’lam
Dijawab oleh: Muhammad Ihsan Jusrin
Madinah, 3 Rajab 1446 H, sore hari di Musim dingin
Referensi
[1] Abu Dawud as-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud juz 2 tahqiq Muhammad Muhyi ad-Din. (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah), hal. 229.
[2] Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisiy, Al-Mughni juz 9. (Riyadh: Dar ‘Alamul Kutub, 1417 H), hal. 377
[3] Abu Umar Yusuf bin Abdil Barr al-Qurthubiy, Al-Istidzkar juz 2. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1421 H), hal. 149.
[4] Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj an-Naisaburiy, Sahih Muslim tahqih Muhammad Dzihni Afandi. (Turki: Dar ath-Thiba’ah ‘Amirah, 1334 H), hal. 61.