Beranda » Kekayaan: Nikmat atau Ujian?

Kekayaan: Nikmat atau Ujian?

Menyelami Hakikat Harta dalam Perspektif Islam: Antara Kenikmatan Duniawi dan Amanah Akhirat

oleh Muhammad Ihsan Jusrin
0 komentar 157 views

Kaya, Nikmat atau Cobaan?

  

           Banyak ayat di dalam Al-Quran Allah ﷻ memerintahkan kita untuk menginfakkan harta di jalan-Nya. Allah ﷻ menjelaskan bahwa seorang hamba hendaklah mencari ridho-Nya dengan mengejar akhirat serta tidak melupakan dunianya untuk menopang kehidupannya di dunia, sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan:

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”(QS. Al-Qashash: 77)

             Seorang hamba yang beriman tidak mencari harta semata-mata untuk memuaskan hawa nafsunya terhadap dunia, akan tetapi yang menjadi prioritas adalah Ridho Rabbnya ﷻ dengan cara ia menginfakkan hartanya untuk mencari kehidupan akhirat.

             Seorang hamba boleh jadi diberikan kelebihan harta sedangkan yang lainnya diberikan kekurangan pada hartanya. Kebanyakan kita menilai bahwa banyaknya harta adalah standar kebahagiaan yang mutlak, dan kekurangan harta merupakan cobaan dan kesengsaraan. Kenikmatan dan cobaan adalah suatu keniscayaan yang harus diterima oleh seorang hamba di kehidupan dunia ini.  Kendati demikian apakah kelebihan harta merupakan kenikmatan murni ataukah juga bisa menjadi cobaan?

Baca juga: Menjadi Qawwam: Tugas dan Peran Suami dalam Islam

Kekayaan Merupakan Cobaan

Allah ﷻ di dalam surah At-Taghabun berfirman menegaskan bahwa harta adalah cobaan bagi seorang hamba:

إِنَّما أَموالُكُم وَأَولادُكُم فِتنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجرٌ عَظيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15)

Rasulullah ﷺ juga menyampaikan bahwa kekayaan merupakan cobaan bagi umatnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau ﷺ bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki ujian, dan ujian umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi: 2490)[1]

             Selain cobaan di dunia, orang-orang yang memiliki harta juga mendapatkan cobaan di akhirat kelak,  yang mana hisab mereka lebih panjang daripada selainnya, sehingga mereka memasuki surga lebih lama dari orang-orang faqir sebanyak setengah hari di dunia yang setara dengan 500 tahun di akhirat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَدْخل فُقرَاءُ المُسْلِمينَ الجَنّةَ قَبْلَ أغْنِيائِهمْ بِنصْف يَوْمٍ وهو خَمْسُ مِئةِ عامٍ

“Orang-orang miskin dari kaum Muslimin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya mereka dengan selisih setengah hari, yang setara dengan 500 tahun.” (HR. Tirmidzi: 2512)[2]

            Perbedaan setengah hari atau yang setara dengan 500 tahun di akhirat bukanlah perkara yang bisa diremehkan karena hari itu merupakan hari yang berat, semua akan dihisab dengan teliti dan dibalas sesuai dengan kadarnya, jika terdapat sedikit dari harta yang digunakan dalam kemaksiatan maka akan bertambah juga balasannya.

Baca juga: Karakteristik Istri Shalihah: Sahabat Sejati dalam Rumah Tangga – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Kapan Kekayaan Menjadi Kenikmatan Yang Sebenarnya?

             Kekayaan akan menjadi kenikmatan di dalam keadaan-keadaan tertentu, di antaranya:

  1.     Harta yang Digunakan di Jalan Allah

             Rasulullah ﷺ mengatakan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad (iri) kecuali pada dua orang: orang yang Allah anugerahkan harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan, dan orang yang Allah beri karunia ilmu, ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari: 74)[3]

             Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa hasad hanya boleh dilakukan kepada dua orang, salah satunya adalah orang yang Allah anugerahkan harta. Secara asal hasad tidaklah menimpa kecuali kepada orang yang mendapatkan kenikmatan. Hukum hasad adalah haram, namun hasad boleh pada keadaan ini karena wujud harta yang sesungguhnya yaitu ketika diinfakkan di jalan-Nya dan menjadi pahala di akhirat kelak. Dari hal tersebut kita mengetahui bahwa tidak boleh hasad kepada orang yang memiliki harta namun tidak digunakan pada jalan Allah.

  1.     Harta Tidak Melalaikannya dari Mengingat Allah

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنوا لا تُلهِكُم أَموالُكُم وَلا أَولادُكُم عَن ذِكرِ اللَّهِ وَمَن يَفعَل ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الخاسِرونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk banyak mengingat-Nya (dzikir) karena dalam dzikir terdapat keberuntungan, laba, dan kebaikan yang banyak. Allah juga melarang mereka agar tidak disibukkan oleh harta dan anak sehingga lalai mengingat Allah. Kebanyakan manusia cenderung mencintai harta dan anak sehingga lebih mengutamakan mereka daripada mengingat Allah, yang akhirnya menimbulkan kerugian besar. [4]

Hakikat dari kehidupan adalah beribadah kepada Allah, jika harta menjadikan seseorang lalai dari hal itu maka itu bukanlah suatu kebaikan namun akan menjadi bumerang baginya di akhirat kelak.

  1.     Tidak Bakhil Terhadap Hartanya

وَلا يَحسَبَنَّ الَّذينَ يَبخَلونَ بِما آتاهُمُ اللَّهُ مِن فَضلِهِ هُوَ خَيرًا لَهُم بَل هُوَ شَرٌّ لَهُم سَيُطَوَّقونَ ما بَخِلوا بِهِ يَومَ القِيامَةِ وَلِلَّهِ ميراثُ السَّماواتِ وَالأَرضِ وَاللَّهُ بِما تَعمَلونَ خَبيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Ali ‘Imron: 180)

Ini adalah ancaman kepada orang yang memiliki harta namun bakhil dan tidak diinfakkan di jalan Allah, sebab bukannya menjadi suatu nikmat justru akan menjadi sebab adzab di akhirat kelak.

Baca juga: Bekal Ramadhan #1: Pentingnya kesadaran hati dan caranya

  1.     Tidak Menyembunyikan Nikmat Allah

الَّذينَ يَبخَلونَ وَيَأمُرونَ النّاسَ بِالبُخلِ وَيَكتُمونَ ما آتاهُمُ اللَّهُ مِن فَضلِهِ وَأَعتَدنا لِلكافِرينَ عَذابًا مُهينًا

“(Yaitu) orang-orang yang kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepada mereka. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 37)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini mencela orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dan juga menyuruh orang lain untuk berbuat kikir. Selain itu, mereka juga menyembunyikan karunia yang telah Allah berikan kepada mereka, baik berupa ilmu maupun harta. Allah mengancam mereka dengan azab yang menghinakan di akhirat kelak.[5]

Baca juga: Cara Berbakti kepada Orang Tua yang Telah Wafat Menurut Islam

Kesimpulan:

             Sangat jelas bahwa harta adalah cobaan bagi seorang hamba, karena harta dapat menjadi sebab masuk surga atau terjerumus ke neraka. Di sisi lain, harta juga merupakan kenikmatan sehingga seorang hamba dapat mencukupi kehidupan dunianya dan menjalankan beberapa syariat yang tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kelebihan harta, bukankah dengan memiliki harta lebih seseorang menjadi wajib untuk mengeluarkan zakat dan melaksanakan haji yang merupakan rukun Islam? Tentu saja itu merupakan kenikmatan yang Allah limpahkan kepada mereka.  Namun, jangan lupa kekayaan itu bukanlah sebuah kenikmatan, jika justru membawa seseorang kepada jalan menuju neraka wal ‘iyadzu billah.

Baca juga: Perbaiki diri sendiri untuk bisa berdakwah dengan baik dan benar

Oleh: M. Ihsan Jusrin 

Artikel Fiqihmuamalah.com

Madinah, 1 Rajab 1446 H


Referensi:

[1] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Thaurah al-Tirmidzi, Sunan at-Tirmdzi juz 4. (Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah, 1430 H),  366.

[2] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Thaurah al-Tirmidzi, Sunan at-Tirmdzi juz 4. (Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah, 1430 H), 377.

[3] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari juz 1. (Al-Qahirah: Dar At-Ta’shil, 1433 H), 247.

[4] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir as-Sa’di. ( Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1420 H), 865.

[5] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir as-Sa’di. ( Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1420 H), 177

You may also like

Tinggalkan komentar

kosultasi syariah