Beranda » Surat Hibah Rumah: Sah atau Tidak Menurut Syariah?

Surat Hibah Rumah: Sah atau Tidak Menurut Syariah?

Memahami Syarat Sah Hibah dalam Islam

oleh Muhammad Zuhdi, B.A, M.A.
0 komentar 151 views

Konsultasi Syariah

Pertanyaan

Apakah surat hibah yang dibuat ibu angkat dan diketahui oleh dua orang saksi sudah cukup untuk menyatakan bahwa rumah tersebut sah dihibahkan kepada A, meskipun sertifikat rumah masih atas nama ibu angkat? Apakah adik-adik ibu angkat berhak atas rumah tersebut?

Jawaban Ringkas


Surat hibah yang dibuat ibu angkat dapat menjadi bukti awal bahwa ada niat untuk memberikan rumah tersebut kepada A. Namun, untuk dianggap sah secara hukum syariat, hibah harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti adanya ijab-qabul (pernyataan pemberian dan penerimaan) dan serah terima yang nyata. Jika serah terima belum dilakukan, hibah tersebut bisa dianggap sebagai wasiat, jika ada keterangan dalam surat itu bahwa pemberian itu akan diserahkan setelah beliau wafat dan hanya mencakup maksimal sepertiga dari harta. 

Baca juga: Menjual Barang Yang Dicicil Kepada Orang Lain, Bolehkah?

Jawaban Lengkap

Hibah dalam Islam

Hibah adalah pemberian harta tanpa imbalan, yang mengharuskan terpenuhinya tiga syarat utama:

  • Ijab: Pernyataan pemberian oleh pemberi hibah.
  • Qabul: Persetujuan penerima hibah.
  • Qabd: Penguasaan fisik oleh penerima hibah, yang menunjukkan perpindahan kepemilikan secara nyata.

Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka hibah dianggap belum sah dan bisa dibatalkan.

Baca juga: Apa Perbedaan Infak dan Sedekah? Pengertian beserta dalilnya

Pandangan Ulama

Pendapat Mayoritas Ulama : Hibah Tidak Sah Kecuali dengan Penerimaan (Qabd)

Menurut jumhur ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali), hibah tidak dianggap mengikat kecuali setelah barang hibah diterima oleh penerima hibah (qabd). Adapun tanpa terjadinya qabd maka pemberi hibah dapat membatalkan hibah.

Dalil-dalil yang mendasari pendapat ini:
  • Hadits Nabi ﷺ:

الذي يَعُودُ في هِبَتِهِ كالكَلْبِ يَرْجِعُ في قَيْئِهِ

“Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang kembali menjilat muntahnya” (HR. Bukhari 2622 dan Muslim 1622).

 

Hadis ini menunjukkan bahwa hibah dapat dibatalkan sebelum penerimaan barang (qabd) terjadi.

  • Atsar Sahabat :

قال الصِّدِّيقُ لَمَّا حضَرَتْه الوفاةُ لِعائشةَ: يا بُنَيَّةُ، إنِّي كنْتُ نحَلْتُكِ جادَّ عشرينَ وسقًا، ولو كنْتِ جَدَدْتيه واحْتَزْتِيه كان لك، وإنَّما هو اليومَ مالُ الوارِثِ، فاقتَسِموه على كتابِ اللهِ تعالى.

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata kepada putrinya Aisyah radhiyallahu’ anha ketika menjelang wafatnya:

“Wahai putriku, dahulu aku telah memberikan kepadamu 20 wasaq (satu wasaq setara sekitar 60 sha’) sebagai hibah. Namun, andai saja engkau telah mengambilnya dan menguasainya (menyimpannya secara langsung), niscaya itu menjadi milikmu. Akan tetapi, hari ini itu adalah bagian dari harta warisan. Maka bagikanlah sesuai dengan ketentuan Kitab Allah Ta’ala.” (H.R. Imam Malik dan Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam kitabnya Irwaul Gholil 1619)

Atsar ini menunjukkan bahwa hibah menjadi sah secara penuh apabila penerima sudah qabd (menerima fisiknya).

  • Dasar Logika (Al-Ma’qul):

Hibah adalah akad pemberian tanpa imbalan yang tidak sempurna kecuali dengan penerimaan, karena penerimaan adalah tanda nyata bahwa kepemilikan telah berpindah.

Sebagaimana jual beli tidak sempurna kecuali dengan serah terima, demikian pula hibah.

Baca juga: Perencanaa keuangan syariah ternyata sangat penting buat kita!

Pendapat Malikiyah : Hibah Menjadi Sah dengan Ijab dan Qabul Saja

Hibah dianggap mengikat dengan ijab (penyataan pemberian) dan qabul (persetujuan penerima) saja, tanpa memerlukan penerimaan barang secara fisik (qabd).

Dalil-dalil pendapat Malikiyah :
  • Dari Al-Qur’an:

Firman Allah:

فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

 “Jika mereka dengan senang hati memberikan kepada kalian sebagian dari itu, maka makanlah dengan baik dan nikmat.” (QS. An-Nisa: 4).

Malikiyah berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan bahwa pemberian sah hanya dengan ridha kedua belah pihak, tanpa menyebutkan syarat penerimaan.

  • Hadis Nabi ﷺ:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (HR. Bukhari 54 dan Muslim 1907).

Dari hadits ini, Malikiyah memahami bahwa niat pemberian (ijab dan qabul) sudah cukup untuk menyempurnakan hibah, tanpa perlu serah terima lebih lanjut.

  • Dasar Logika (Al-Ma’qul) :

Hibah adalah akad yang mirip dengan jual beli dalam hal perpindahan kepemilikan. Sebagaimana jual beli sah dengan ijab dan qabul, maka hibah juga demikian. Begitu pula jika dianalogikan dengan utang piutang yang sah hanya dengan ijab dan qabul, maka hibah juga tidak memerlukan penerimaan.

Pendapat yang Rajih

Setelah memaparkan dalil kedua pendapat, maka pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama yang menetapkan bahwa hibah tidak sah kecuali setelah terjadi qabd (penerimaan fisik). 

Baca juga: Cara Berbakti kepada Orang Tua yang Telah Wafat Menurut Islam

Bantahan terhadap Dalil-Dalil Malikiyah

  • Malikiyah menggunakan pada QS. An-Nisa 4 sebagai dalil. Akan tetapi ayat ini berbicara tentang pemberian secara umum, dengan konteks khususnya ialah mengenai pemberian istri kepada suami terkait mahar, bukan tentang hukum hibah.

      Ayat ini hanya menunjukkan pentingnya keridhaan sebagai syarat awal dalam akad, tetapi tidak cukup untuk menyempurnakan hibah tanpa qabd.

  • Mayoritas ulama memahami ayat ini sebagai bagian dari prinsip umum kerelaan, bukan dalil khusus yang dapat meniadakan qabd.
  • Hadits mashur “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya.” ini berkaitan dengan pentingnya niat dalam amal ibadah atau perbuatan baik, bukan tentang syarat sah hibah. Dalam konteks hibah, niat saja tidak cukup untuk menunjukkan perpindahan kepemilikan secara nyata. Diperlukan qabd untuk menguatkan niat dan memastikan pemberian tersebut benar-benar terealisasi.
  • Malikiyah menyamakan hibah dengan jual beli dan utang piutang yang dianggap sah dengan ijab dan qabul saja. Padahal jual beli melibatkan kompensasi (imbal balik), sehingga akadnya mengikat tanpa qabd. Sementara hibah adalah pemberian sukarela tanpa kompensasi, yang memerlukan qabd untuk memastikan perpindahan kepemilikan.
  • Adapun untuk utang piutang, akad ini tidak memerlukan perpindahan barang secara fisik karena sifatnya adalah janji pembayaran di masa depan. Sementara hibah melibatkan adanya perpindahan barang fisik yang hanya dapat sempurna dengan qabd.

Baca juga: Dampak Maksiat Merusak Kehidupan

Kesimpulan

  • Jika hibah belum diserahterimakan, maka menurut mayoritas ulama, rumah tersebut tidak dianggap sah dihibahkan dan kembali menjadi bagian dari warisan.
  • Surat hibah dapat dianggap sebagai wasiat jika ada keterangan dalam surat itu bahwa pemberian itu akan diserahkan setelah beliau wafat, maka ini akan berlaku jika rumah tersebut tidak lebih dari sepertiga harta. Dan sisanya adalah hak ahli waris, termasuk adik-adik ibu angkat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh: Muhammad Zuhdi, B.A, M.A.

(Kandidat Doktor Ushul Fiqih, Universitas Islam Madinah)

Artikel: Fiqihmuamalah.com

Madinah, 6 Desember 2024 M/ 5 Jumadal Akhirah 1446 H

You may also like

Tinggalkan komentar

kosultasi syariah