Konsultasi Syariah
Hukum Seorang Ibu Menyerahkan Hak Asuh Anak
Pertanyaan:
Apa hukumnya seorang ibu yang menyerahkan hak asuh anaknya yg masih di bawah usia baligh ke mantan suami dengan alasan tidak mampu secara nafkah?.
Dan apa hukumnya seorang mantan suami mengiyakan mantan istri untuk menyerahkan hak asuh anak td dgn alasan agar tidak ribet soal biaya yg nanti dia tanggung karena jatuhnya memikirkan 2 dapur,dapur mantan istri Krn anak msh dgn mantan istri dan dapur istri barunya?
Jawaban Singkat:
Dalam Islam yang paling berhak menerima hak asuh adalah ibu kandung, selama memenuhi syarat-syarat pengasuhan dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Dan apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada penghalang-penghalangnya, maka hak asuh tersebut gugur dari sang ibu. Kemudian berpindah kepada selain ibu. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang paling berhak setelah ibu kandung. Dan ayah termasuk di antara yang memiliki hak untuk mengasuh, meskipun urutannya hak berbeda-beda pada setiap mazhab. Tidak ada dalil yang sharih yang secara jelas memberikan urutan dalam hak asuh, Sehingga ini menjadi permasalahan fiqih yang ada pada ranah ijtihadiyah. Yang menjadi dasar dalam penentuan hak asuh setelah ibu adalah kemashlahatan anak, dan yang menimbang hal ini adalah hakim pengadilan. Adapun sebab yang disebutkan sang penanya bahwa sang ayah ingin mengambil hak asuh karena sebab menghindari tanggung jawab nafkah dua dapur (mantan istri dan istri baru), maka ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang tepat, karena sesungguhnya kewajiban menafkahi anak adalah kewajiban yang menetap pada seorang ayah meskipun hak asuh ada pada mantan istri.
Baca juga: Menghadapi Suami Cuek Panduan Islami untuk keluarga harmonis
Jawaban Lengkap:
Dalam Islam, hak asuh anak (hadhanah) secara prinsip diberikan kepada ibu kandung. Hal ini berdasarkan sifat alami seorang ibu yang lebih penyayang, lembut, dan sabar dalam merawat anak-anak yang masih kecil.
Sebagaimana disebutkan dalam artikel ilmiah Aḥkām al-Ḥaḍānah fī al-Fiqh al-Islāmī karya Ahmad bin Ṣāliḥ al-Barrāk ([1]):
“Para ulama telah sepakat bahwa ibu lebih berhak atas hak asuh anak, dan kaum perempuan lebih didahulukan daripada kaum laki-laki dalam pengasuhan. Sebab pengasuhan dibangun atas kasih sayang dan kelembutan kepada anak, yang lebih banyak dimiliki perempuan. Mereka juga lebih memahami pendidikan anak dan lebih mampu memenuhi maslahat (kebutuhan) anak.”
Syarat-Syarat Ibu Kandung Menerima Hak Asuh
Para ulama menetapkan sejumlah syarat ibu kandung untuk menerima hak asuh, berikut syarat-syaratnya([2]).
- Tidak Menikah Lagi
Rasulullah ﷺ bersabda:
أنتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لم تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah.”
(HR. Abu Dawud no 2276)
Maka dari itu menikah lagi merupakan penghalang bagi ibu kandung untuk menerima hak asuh. Hikmah dari hal ini adalah, apabila seorang ibu tidak menikah lagi, maka dia memiliki kuasa sepeneuhnya terhadap dirinya. Namun apabila dia menikah lagi, maka dia tidak memiliki kuasa penuh terhadap dirinya, karena dia memiliki kewajiban lain yaitu melayani suaminya. Maka dari itu kewajiban dia untuk mengasuh anaknya menjadi terbengkalai.
- Kemampuan Mengurus Anak
Kemampuan ini meliputi kemampuan secara fisik dan mental untuk mengasuh anak. Jika pengasuh memiliki keterbatasan, seperti usia lanjut, sakit, atau cacat yang menghalangi pengasuhan, maka hak asuhnya gugur.
- Baligh dan Berakal
Syarat balik ini berlaku apabila yang menerima hak asuh adalah selain dari pada ibu kandung, seperti misalkan saudari perempuan dari anak asuh tersebut, maka dia harus sudah baligh. Kemudian syarat lain adalah berakal, maka apabila sang ibu hilang akal (gila), maka hal ini menjadi penghalang dia unutk menerima hak asuh.
- Bebas (Merdeka)
Tidak berada dalam kondisi perbudakan. Karena seorang budak (hamba sahaya) tidak memiliki kuasa dan pengendalian penuh pada dirinya. Maka dari itu perbudakan menjadi penghalang untuk menerima hak pengasuhan.
- Memiliki Akhlak Baik
Pengasuh harus berakhlak mulia dan menjaga anak dari pengaruh buruk. Apabila diketahui ibu kandungnya tidak berakhlak baik, maka keluarganya bertanggung jawab untuk mencarikan pengasuh lain yang lebih layak.
- Beragama Islam (jika anak Muslim)
Syarat ini khusus untuk Anak Muslim. Seorang anak yang beragama Islam tidak boleh diasuh oleh non-Muslim agar terjaga akidah dan ibadahnya. Maka apabila seorang ibu kafir, atau murtad dari Islam, hal ini menjadi penghalang dia untuk menerima hak asuh.
Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, atau penghalang-penghalangnya ditemukan, maka hak asuh bagi ibu kandung telah gugur. Lantas, siapakah yang berhak mengasuhnya setelah hak asuh ibu gugur?
Baca juga: Hukum Cashback dan Komisi Member: Panduan Syariah Lengkap
Siapa Berhak terhadap Hak Asuh Anak setelah Ibu Kandung?
Sebagai mana dijelaskan di awal, semua ulama telah sepakat, bahwa yang berhak untuk mengasuh anak adalah ibunya sendiri. Akan tetapi para ulama telah berbeda pendapat tentang siapa yang paling berhak setelah ibu kandung? Tidak ada dalil sharih (jelas) yang secara jelas menerangkan urutan hak asuh. Oleh karena itu hal ini masuk ke dalam ranah ijtihadiyah yang luas. Setiap mazhab memiliki urutannya yang berbeda ([3]).
Syaikh Utsman Khamis mengatakan, permasalahan hak asuh anak adalah masalah khilafiyah, tidak ada dalil yang sorih (jelas) menjelaskan urutan dalam hak pengasuhan anak. Penentuan hak asuh setelah ibu didasarkan pada kemaslahatan anak dan diputuskan oleh hakim ([4]).
Baca juga: Bolehkan Meminta Cerai karena Kebencian?
Berapa Masa Pengasuhan?
Adapun masa atau durasi pengasuhan adalah hingga anak mencapai usia tamyiz (6-7 tahun), atau anak dapat mengurus kebutuhan primernya sendiri, seperti makan, istinja (memberishkan kotoran), memakai baju sendiri, dan lain sebagainya. Apabila anak sudah mencapai batas ini, maka masa pengasuhan sudah selelsai.
Setelah masa pengasuhan selesai maka berpindah ke masa perwalian/pemeliharaan. Secara umum para ulama sepakat bahwa yang berhak untuk perwalian/pemeliharaan adalah ibu atau nenek. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang paling berhak apabila terjadi perselisihan antar ayah dan ibu dan keduanya memiliki kapasitas untuk itu. Madzhab Malikiyah menetapkan Ibu yang paling berhak, baik anak tersebut laki-laki ataupun perempuan. Sedangkan madzhab Syaf’iyyah memandang bahwa anak baik laki-laki maupun perempuan diberikan pilihan antara ayahnya atau ibunya. Adapun madzhab Hanabilah memandang apabila anak laki-laki maka diberi pilihan, sedangkan anak perempuan maka yang paling berhak adalah ayahnya. Sedangakan Hanafiyyah berpendapat bahwa seorang ibu lebih berhak untuk anak perempuannya, dan seorang ayah lebih berhak untuk anak laki-lakinya. Yang rajih dalam masalah ini adalah sang anak baik itu laki-laki maupun perempuan diberikan hak pilihan, -wallahu ta’ala a’lam.
Hukum Mantan Suami Mengambil Hak Asuh
Seorang ayah merupakan salah satu yang memiliki hak asuh anak setelah ibunya. Dan para ulama mazhab memiliki pendapatnya dalam menentukan urutan hak untuk seorang ayah. Mazhab yang menempatkan ayah pada urutan terdekat adalah mazhab Hanbali, di mana sang ayah ditempatkan di urutan ketiga setelah ibu, dan nenek. Sedangkan mazhab yang lainnya menempatkan urutan ayah di posisi yang jauh.
Terlepas dari posisi urutan seorang ayah, hukum hak asuh tidak akan berpindah dari sang ibu selama syarat-syaratnya terpenuhi. Di zaman Nabi ﷺ, ada seorang wanita yang datang kepada beliau menuntut hak asuhnya dengan berkata: “Wahai Rasulullah, anakku ini adalah yang perutku menjadi tempat baginya (saat mengandung), pangkuanku menjadi tempat perlindungannya, dan payudaraku menjadi tempat minumnya. Namun, ayahnya mengklaim bahwa ia ingin mengambilnya dariku. Maka Rasulullah bersabda:
أنتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لم تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah.”
(HR. Abu Dawud no 2276)
Oleh karena itu, jika penanya yang mana dalam hal ini berposisi sebagai seorang ibu kandung telah memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, seperti misal tidak menikah lagi, memiliki kemampuan dalam mengasuh, dan seterusnya, maka hak sepenuhnya dimiliki oleh penanya (ibu kandung), sebagaimana Hadits sharih di atas yang secara jelas menetapkan hak asuh kepada sang ibu.
Adapun alasan ayah ingin mengambil hak asuh anak supaya tidak mengurusi dua dapur (mantan istri dan istri baru), bukanlah alasan yang dibenarkan. Karena pada dasarnya nafkah anak adalah tanggungan ayah selamanya.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan kewajiban ayah adalah memberi nafkah dan pakaian kepada ibu dengan cara yang baik.”
(QS. Al-Baqarah: 233)
Baca juga: Hukum Wasiat yang Tidak Sah dalam Islam dan solusinya
Kesimpulan
Dalam Islam, hak asuh anak (hadhanah) secara prinsip diberikan kepada ibu kandung karena sifat alami ibu yang penyayang dan lembut. Namun, hak ini terikat pada pemenuhan syarat-syarat tertentu, seperti tidak menikah lagi, kemampuan fisik dan mental, akhlak yang baik, serta beragama Islam jika anak Muslim. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, hak asuh berpindah kepada pihak lain berdasarkan keputusan hakim yang mempertimbangkan kemaslahatan anak.
Para ulama berbeda pendapat tentang urutan hak asuh setelah ibu, tetapi ayah merupakan salah satu pihak yang berhak. Dalam hal ini, syariat menetapkan bahwa selama ibu memenuhi syarat-syarat hadhanah, ia tetap menjadi pihak yang paling berhak atas anak. Dalil-dalil dan ijma’ ulama mendukung prioritas ibu dalam pengasuhan, selama tidak ada penghalang syar’i. Alasan ayah mengambil hak asuh untuk menghindari tanggung jawab nafkah mantan istri dan istri baru tidak dibenarkan, karena nafkah anak tetap menjadi tanggung jawab ayah selamanya (QS. Al-Baqarah: 233).
Baca juga: Hibah Rumah tanpa Sertifikat: Apakah Sah Menurut Syariah?
Dijawab oleh: Asep Ridwan Taufik, M.A.
(Kandidat Doktor Ekonomi Islam, Universitas Islam Madinah)
Artikel: Fiqihmuamalah.com
Madinah, 9 Desember 2024
Referensi
[1] أحمد بن صالح البراك (1435 ه). أحكام الحضانة في الفقه الإسلامي. مجلة العدل (66). الصفحات(289- 324).
Ahmad bin Salih Al-Barrak (1435 H). Ahkam Al-Hadhanah fi Al-Fiqh Al-Islami (Hukum-Hukum Pengasuhan Anak dalam Fikih Islam). Majallah Al-Adl (Jurnal Keadilan), Edisi 66, halaman 289-324.
[2] Ahmad bin Salih Al-Barrak (1435 H). Ibid.
[3] حافظ محمد أور (1420 ه). ولاية المرأة في الفقه الإسلامي. دار بلنسية للنشر والتوزيع. ص 691
Hafiz Muhammad Aur (1420 H). Wilayah Al-Mar’ah fi Al-Fiqh Al-Islami (Kewalian Perempuan dalam Fikih Islam). Dar Balansiyah li Al-Nashr wa Al-Tawzi’ (Penerbit Dar Balansiyah), halaman 691.
[4] Kanal Youtube Syaikh Utsman Khamis (https://www.youtube.com/watch?v=XPEMAnOWqn0&t=486s).