Beranda » Hukum Asal Muamalah, Haram atau Halal?

Hukum Asal Muamalah, Haram atau Halal?

Kaidah-Kaidah Dasar Transaksi Kontemporer Bagian-3

oleh Jundi Qoriba, B.A., M.A.
0 komentar 179 views

Apakah hukum asal muamalah itu halal atau haram? di postingan kali ini dijelaskan tentang perbedaan para ulama tentang hukum asal muamalah.

Para ulama rahimahumullah telah berselisih pendapat dalam masalah hukum asal muamalah, apakah boleh atau dilarang? Ada dua pendapat -berdasarkan perbedaan pendapat mereka dalam hukum asal segala sesuatu  setelah datangnya syariat Nabi ﷺ-[1] apakah diperbolehkan atau dilarang:

pendapat pertama: hukum asal muamalah adalah mubah

Ini adalah pendapat mayoritas pengikut madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’I, dan madzhab Hanbali, maka ini adalah pendapatnya mayoritas, bahkan Ibn Rajab berkata: beberapa dari mereka meriwayatkan konsensus tentang itu.

pendapat kedua: hukum asal muamalah adalah haram

Ini adalah pendapat Al-Abhari dari madzhab Maliki dan Ibn Hazm dari madzhab Dzohiri.

Masing-masing kelompok berdalil dengan dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan nadzor (pertimbangan). Karena dalil-dalil mereka sangat kompleks, maka saya membatasi penyebutannya hanya pada apa yang terkait dengan muamalah saja.

Baca juga : Kaidah- Kaidah Dasar Transaksi Kontemporer Bagian -2

Dalil-dalil Pendapat Pertama:

Pertama, dari al-qur’an:
  1. Ayat ayat yang mengandung perintah untuk memenuhi kontrak dan perjanjian. Seperti firman Allah ﷻ:

﴾يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ﴿

Hai orang-orang yang beriman! penuhilah janji-janji[2]

dan firman-Nya:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولً﴾ا﴿

dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya[3], dan ayat-ayat yang lain.

Sudut pandang pendalilannya adalah bahwa Allah ﷻ telah memerintahkan untuk memenuhi kontrak dan perjanjian secara mutlak, dan ini mencakup setiap kontrak yang bebas dari pelanggaran syariat. Maka hal itu menunjukkan bahwa hukum asal dalam bertransaksi adalah mubah, bukan haram.

  1. Ayat ayat yang menyatakan pembatasan larangan pada jenis dan sifat. Seperti firman Allah ﷻ:

﴾قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ﴿

Katakanlah (Muhammad), tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi[4]

dan firmannya ﷻ:

﴾قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ﴿

Katakanlah (Muhammad), Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui[5].

Sudut pandang pendalilannya adalah bahwa Allah ﷻ pada ayat-ayat ini telah membatasi perkara yang dilarangnya dengan jenis dan sifat, maka apa saja yang tidak diketahui larangannya diberlakukan hukum mubah, dan alasannya adalah suatu hukum Allah ﷻ tidak dikenakan atas mukallaf tanpa bersandar kepada suatu dalil.

  1. Firman Allah ﷻ:

﴾إلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ﴿

Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar ridho (suka sama suka) diantara kamu[6].

Sudut pandang pendalilannya adalah bahwa Allah ﷻ tidak mensyaratkan dalam perdagangan selain syarat saling ridho, dan itu menunjukan bahwa syarat saling ridho adalah yang menghalakan perdagangan, jika demikian maka apabila kedua belah pihak (pelaku transaksi) saling ridho dengan perdagangan, atau donatur berdonasi dengan kerelaan hatinya, maka hal tersebut hukumnya sah berdasarkan pendalilan Al-Qur’an, kecuali yang mengandung apa yang diharamkan oleh Allah ﷻ dan Rasulnya ﷺ, seperti perdagangan minuman khomer dan lain sebagainya. Maka ayat tersebut merupakan dalil dibolehkannya segala transaksi, penjualan, dan segala jenis perdagangan, selama didalam perdagangan atau transaksi ini terdapat keridhoan, kejujuran, dan keadilan.

  1. Firman Allah ﷻ:

﴾وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ﴿

padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu[7]

Sudut pandang pendalilannya adalah bahwa semua apa yang Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ tidak jelaskan keharamannya dari makanan, minuman, pakaian, akad, dan syarat, maka tidak diperbolehkan melarangnya, karena Allah ﷻ telah merinci bagi kita apa yang telah dilarang bagi kita. Jadi apa saja yang dilarang maka larangannya harus terperinci, dan sebagaimana tidak diperbolehkan menghalalkan apa yang Allah ﷻ haramkan, begitupula tidak diperbolehkan mengharamkan apa yang Allah ﷻ maafkan dan halalkan.

  1. Firman Allah ﷻ:

﴾وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّب ﴿

padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba[8].

Sudut pandang pendalilannya adalah bahwa Allah ﷻ telah membolehkan jual beli dan segala jenis perdagangan, karena didalamnya ada unsur menegakkan maslahat manusia dan mata pencaharian bagi mereka. Dan Allah ﷻ telah mengharamkan riba, karena didalamnya ada unsur kedzoliman dan mengkonsumsi uang secara bathil. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum asal dalam bertransaksi adalah diperbolehkan selama tidak mencakup kedzoliman atau mengkonsumsi uang secara bathil.

 Kedua, dari as-sunnah:
  1. Hadits hadits yang mengandung bahwa apa saja yang didiamkan oleh Allah ﷻ dari benda atau transaksi, maka itu termasuk yang dimaafkan tidak boleh menghukuminya dengan keharaman.

Diantaranya adalah sabda Nabi ﷺ:

إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ، فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيانٍ، فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا

«Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban maka jangan menyia-nyiakannya, mengharamkan berbagai hal maka jangan melakukannya, menentukan berbagai batasan maka jangan melanggarnya, dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan mencari-cari (masalah tentangnya)»[9]

dan sabda Nabi ﷺ:

الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ، فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْكُمْ

«yang halal itu adalah yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, yang haram itu adalah yang Allah haramkan dalam kitab-Nya, dan apa saja yang Allah diamkan maka itu termasuk yang dimaafkan dari kalian»[10], dan hadits-hadits lain yang semakna.

Sudut pandang pendalilannya adalah hadits-hadits ini memberitahukan bahwa menurut hukum syariat segala sesuatu itu terbagi kepada tiga kategori:

Pertama: Apa yang Allah ﷻ halalkan, maka ia halal.

Kedua: Apa yang Allah ﷻ haramkan, maka ia haram.

Ketiga: Apa yang Allah ﷻ diamkan dan tidak menghukuminya dengan kehalalan atau keharaman, maka itu termasuk yang dimaafkan, pelakunya tidak berdosa.  Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam menjelaskan hukum bagian ketiga ini: ((maka setiap syarat, kontrak, dan transaksi yang didiamkan hukumnya, maka tidak diperbolehkan menghukuminya dengan keharaman)). Dan Imam Ibnu Taimiyah  Al-jadd (Abul Baroka>t) membuat judul khusus untuk hadits ini dalam kitab Muntaqol Akhbar dengan nama: ((Bab hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai datang dalil yang melarangnya atau yang mewajibkannya)), hal yang samapun dilakukan oleh Ibn Hajar, ketika beliau menyebutkan hadits: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban” dalam kitab Almatholibul ‘Aliyah memberinya judul dengan: ((Bab pernyataan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah)).

  1. Sabda Nabi ﷺ:

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

«Sesungguhnya orang Islam yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan dari sebab pertanyaannya itu»[11].

Sudut pandang pendalilannya adalah bahwa Nabi ﷺ memperingatkan dari banyak bertanya, khawatir akan turun desakan karena pertanyaan tersebut. Maka, hal itu menunjukan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut diharamkan. Al-Hafiz Ibn Hajar mengatakan ketika menjelaskan hadits ini: ((pada hadits itu terdapat faidah bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai datang syariat yang berlawanan dengannya)).

 Ketiga, dari an-nadzor (pertimbangan teori):
  1. Bahwa akad (kontrak) adalah masalah tindakan dan interaksi biasa, dan itu yang lumrah dilakukan oleh manusia pada perkara dunianya, dari apa yang mereka butuhkan. Hukum asalnya adalah dimaafkan, bukan dilarang, sehingga hukum tersebut diberlakukan sampai datang dalil yang melarang. ((maka hukum mengerjakan bisa halal ataupun dimaafkan, seperti objek yang tidak dilarang))[12]. Jadi, yang diperhatikan dalam bagian ini adalah maslahat manusia, dan hukum pembolehan selalu berjalan dengannya.
  2. Bahwa syariat datang untuk mencapai maslahat manusia. Oleh karena itu, syariat tidak mengharamkan sesuatu bagi manusia kecuali karena didalamnya mengandung unsur bahaya dan kerusakan. Jadi, setiap transaksi yang tidak berbahaya dan merusak, maka hukumnya mubah, karena ada maslahatnya.
  3. Bahwa dalam syariat tidak ada dalil yang menunjukkan adanya larangan tentang jenis akad kecuali akad-akad tertentu, sehingga tidak adanya dalil larangan tersebut merupakan bukti dari tidak adanya larangan. Maka seandainya hukum asal segala sesuatu itu haram, tentu tidak ada faidahnya dari dalil pelarangan, karena tidak ada perbedaan hukum antara apa yang disebutkan dalam dalil dan yang tidak disebutkan.
  4. Para ulama sepakat bahwa keabsahan suatu akad tidak perlu mengetahui izin khusus (pembolehan) dari Allah ﷻ. Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: ((ketika kaum muslimin melakukan suatu akad, sedangkan mereka tidak tahu apakah itu halal atau haram, maka para ulama seluruhnya -menurut yang saya ketahui- menilai sah transaksi ini, selama mereka tidak melakukan transaksi yang haram. Meskipun orang yang melakukan akad (ketika dia dibolehkan untuk berakad) tidak tahu kehalalannya, baik dengan ijtihad (memutuskan suatu perkara sendiri) maupun dengan taqlid (mengikuti ulama), dan tidak ada seorang pun yang menilai tidak sah transaksi itu, kecuali yang diyakini bahwa Allah ﷻ telah menghalakannya. Jika izin khusus (pembolehan) dari syariat menjadi syarat sahnya akad, maka setiap akad yang dilakukan manusia menjadi tidak sah, sampai dia yakin ada dalilnya)).

ditulis oleh: Ust. Kais Qaolan Staqila, B.A.

Mahasiswa S2 ekonomi islam Universitas Islam Madinah, KSA.

 

[1] Adapun hukum asal segala sesuatu sebelum datangnya syari’at Nabi ﷺ, maka ada 3 pendapat: tawaqquf, mubah, haram.

[2] Al-maidah: 1

[3] Al-isra: 34

[4] Al-an’am: 145

[5] Al-’arof: 33

[6] An-nisa: 29

[7] Al-an’am: 119

[8] Al-baqaroh: 275

[9] Hadits hasan, dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (42) dan selainnya.

[10] Imam Tirmizi mengatakan: Hadits gharib, dari Salman Alfarisi radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Tirmizi (1726) dan Ibnu Majah (3367).

[11] Hadits shahih, dari Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Bukhori (7289) dan Muslim (2358).

[12] Majmu’ul Fatawa 29/150

 

 

 

 

 

You may also like

Tinggalkan komentar

kosultasi syariah