10 Prinsip Dasar Ilmu Waris
Ilmu waris merupakan ilmu yang penting untuk dipelajari oleh setiap muslim, namun demikian banyak orang yang tidak mempedulikannya. Dalam artikel kali ini penulis akan menguraikan 10 dasar ilmu waris yang perlu diketahui oleh setiap muslim.
Prinsip Pertama: Definisi Ilmu Waris
Secara Etimologi: المَوَارِيثُ adalah bentuk jamak dari kata مِيرَاثٌ. Dikatakan: Fulan mewarisi ayahnya, jika ia meninggal maka warisannya menjadi miliknya, dan harta warisan dari sesuatu itu sisa dari asalnya.
Secara Terminologi: Suatu ilmu yang mempelajari tentang siapa yang berhak dan tidak berhak menerima warisan serta berapa jumlah masing-masing harta yang diterima.
Prinsip Kedua: Objek Pembahasan Ilmu Waris
Harta pusaka dalam hal pembagiannya dan penjelasan bagian setiap masing-masing ahli waris.
Prinsip Ketiga: Manfa’at Mempelajari Ilmu Waris
Menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya.
Prinsip Keempat: Relasi Ilmu Waris Dengan Ilmu Yang Lain
Dikaitkan dengan ilmu-ilmu syari’ah, karena ilmu waris merupakan bagian dari ilmu fiqih, kemudian dipisahkan dalam karangan kitab-kitab disiplin ilmu yang independen.
Prinsip Kelima: Keutamaan Ilmu Waris
Ilmu Waris termasuk diantara ilmu yang paling luhur dan mulya, karena beberapa hal:
- Ilmu Waris adalah pedoman dan pernyataan.
- Allah ﷻ telah menyebut ketentuan faroidh ini sebagai batasan yang telah ditetapkan.
- Allah ﷻ sendiri yang menentukan kewajiban-kewajiban tersebut.
- Allah ﷻ telah menjanjikan kepada mereka yang mentaati-Nya (dalam perkara warisan) dengan surga, dan mengancam mereka yang tidak mentaati-Nya dengan api neraka.
Prinsip Keenam: Pencetus Ilmu Waris
Wahyu dari Allah ﷻ.
Prinsip Ketujuh: Penamaan Ilmu Waris
Ilmu al-mawarits dan ilmu al-faroidh.
Prinsip Kedelapan: Pengambilan Intisari Ilmu Waris
Dari Alqur’an, Assunnah, dan Ijma’ para shahabat.
Prinsip Kesembilan: Hukum Mempelajari Ilmu Waris
Hukum mempelajari dan mengajarkannya adalah fardhu kifayah[1].
Prinsip Kesepuluh: Topik Pembahasan Dalam Ilmu Waris
Diantaranya adalah tentang warisan ashabul furudh[2] (seperti suami, istri dan ibu), dan warisan ashabul ashobaat[3] (seperti anak laki-laki, ayah dan paman), dan warisan almahjubun (ahli waris yang terhalang mendapatkan warisan)[4], dan sejenisnya.
_________________________________________________
Ditulis oleh : Ust. Kais Qaolan Tsaqila, B.A.
Mahasiswa S2 Ekonomi Islam, Fakultas Syariah, Universitas Islam Madinah.
[1] Status hukum dari suatu amalan yang wajib dilakukan, tetapi jika sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini gugur.
[2] Orang-orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar yang telah ditentukan dalam Alqur’an.
[3] Orang-orang yang mendapatkan warisan dari kelebihan harta setelah diserahkan pada ashabul furudh.
[4] Sebetulnya ahli waris yang terhalang (mahjub) ini memiliki hak untuk mendapatkan harta pusaka si mayit, hanya saja karena ada ahli waris yang lebih dekat ke mayit maka ia terhalang haknya. Orang yang menghalangi disebut hajib, dan orang yang terhalang disebut mahjub. Seperti terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, dan terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung.