Pendahuluan
Transaksi keuangan merupakan bagian mendasar dalam kehidupan manusia yang sering dijumpai di berbagai aspek kehidupan. Syariat Islam mengharuskan setiap pemeluknya untuk memahami jenis-jenis transaksi tersebut agar tidak terjerumus ke dalam praktik yang diharamkan. Segala bentuk transaksi yang terjadi dalam kehidupan seorang Muslim telah diatur secara rinci melalui batasan dan ketentuan yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ.
Baca juga: Hukum Mengaktifkan Aplikasi Grab Driver di Masjid?
Dalam praktik keseharian, transaksi antara dua pihak secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu transaksi tunai (naqd) dan transaksi utang (dayn). Kedua bentuk ini merupakan praktik yang lazim dijumpai dalam akad-akad yang telah ditetapkan oleh syariat.
Perlu diketahui bahwa utang (dayn) dapat bersinggungan dengan dua hak: hak Allah dan hak sesama manusia. Dayn yang berkaitan dengan hak Allah, seperti zakat yang belum ditunaikan, merupakan tanggungan yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah ﷻ. Adapun dayn yang menyangkut hak manusia, maka hal ini erat kaitannya dengan persoalan muamalah atau transaksi keuangan antarindividu.
Baca juga: Hukum Jual Beli Sistem Pre-Order (PO) Tanpa Kejelasan Waktu dalam Islam
Definisi Utang (Ad-Dayn)
Dalam literatur fikih muamalah, istilah dayn memiliki definisi yang dapat dibedakan menjadi dua bentuk: definisi umum dan definisi khusus.
- Definisi Umum
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Najim:
الدين هو لزوم حق في الذمة
“Utang adalah melekatnya suatu kewajiban (hak) dalam tanggungan seseorang.“[1]
- Definisi Khusus
Ibnu ‘Abidin, seorang ulama dari mazhab Hanafiyyah, menjelaskan:
الدين : ما وجب في الذمة بعقد، أو استهلاك، وما صار في ذمته دينًا باستقراضه
“Utang adalah sesuatu yang wajib ditunaikan dalam tanggungan seseorang karena adanya akad, konsumsi (penggunaan), atau sesuatu yang menjadi utang karena dipinjam.”[2]
Dari definisi tersebut, terdapat tiga sebab utama yang menjadikan suatu kewajiban termasuk kategori dayn:
- Adanya akad (misalnya jual beli dengan pembayaran tertunda).
- Konsumsi barang atau jasa yang belum dibayar.
- Pinjaman secara langsung (istiqrāḍ), seperti meminjam uang atau barang.
Berdasarkan tiga keadaan di atas, kita memahami bahwa utang dalam Islam dapat timbul melalui berbagai bentuk interaksi. Banyak orang memahami istilah dayn hanya sebatas pinjaman (makna ketiga), padahal dalam konteks syariat, dayn mencakup seluruh kondisi tersebut. Adapun istilah qardh (pinjaman) merupakan bentuk khusus dari dayn.
Baca juga: Memutuskan untuk Tidak Menikah: Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
Konsep Utang dalam Islam
- Utang Merupakan Tanggungan yang Wajib Ditunaikan
Islam memandang utang sebagai kewajiban serius yang harus diselesaikan, bahkan setelah seseorang meninggal dunia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Ruh seorang mukmin tergantung (tertahan) karena utangnya hingga utang tersebut dilunasi.”[3]
Hadits ini menunjukkan bahwa utang memiliki dampak spiritual yang besar bagi seorang Muslim, baik di dunia maupun di akhirat.
Baca juga: Bahaya Riba dalam Islam
- Anjuran untuk Menulis Utang
Islam menganjurkan agar setiap utang dicatat secara tertulis guna menghindari kelalaian, perselisihan, atau pengingkaran di masa depan. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, maka tulislah (utang itu)”[4]
Penulisan utang adalah bentuk kehati-hatian yang diperintahkan oleh syariat untuk menjaga hak-hak seluruh pihak yang terlibat dalam transaksi.
- Kewajiban Memberi Penangguhan kepada Orang yang Kesulitan
Islam juga mengatur agar pemberi utang bersikap bijak dan memberikan kelonggaran waktu kepada pihak yang sedang mengalami kesulitan dalam melunasi utang. Allah ﷻ berfirman:
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia mampu membayar. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau seluruh utang itu), maka itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”[5]
Ayat ini menegaskan prinsip keadilan dan empati dalam muamalah, serta menganjurkan sikap dermawan sebagai bentuk kebaikan yang bernilai ibadah.
Baca juga: Hukum Meminjam Uang dengan Jaminan Emas: Antara Rahn dan Riba
- Haramnya Mengambil Manfaat dari Utang
Dalam Islam, memberi utang tidak boleh disertai dengan persyaratan yang menguntungkan pihak pemberi, seperti adanya tambahan atau imbalan tertentu. Hal ini dikenal sebagai riba qardh, yang termasuk dalam kategori riba yang diharamkan. Para ulama menegaskan dengan sebuah kaidah:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap utang yang mendatangkan manfaat (bagi pemberi utang), maka itu adalah riba.”[6]
Riba dalam bentuk ini sangat dikecam karena merusak prinsip tolong-menolong dalam Islam dan membuka pintu kezaliman dalam transaksi.
Baca juga: Hukum Mengikuti Adat Istiadat Pernikahan: Antara Budaya dan Syariat
Penutup
Islam memberikan panduan yang sangat lengkap dan tegas dalam mengatur masalah utang piutang. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tanggung jawab, kejujuran, dan keadilan dalam setiap transaksi keuangan. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya mempelajari dan memahami hukum-hukum syariat dalam bermuamalah agar terhindar dari perbuatan yang dapat membahayakan dirinya di dunia maupun di akhirat.
__________________________________________
Referensi
[1] Dibyan bin Muhammad Dibyan, Al-Mua’malat al-Maliyah Asholatan wa Mu’ashirotan jilid 3. (T.P. : 1432), hal.59
[2] Dibyan bin Muhammad Dibyan, Al-Mua’malat al-Maliyah Asholatan wa Mu’ashirotan jilid 3. (T.P. : 1432), hal.60
[3] HR. Tirmidzi No. 1102
[4] QS. Al-Baqarah: 282
[5] QS. Al-Baqarah: 280
[6] Abu Al-Harits Al-Gizziy, Mausu’ah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah jilid 8. (Beirut: Muassasah Risalah, 2003), hal. 484.