Pendapat Para Ulama Tentang Menimbun Barang
Pada artikel sebelumnya, kita telah mengetahui definisi monopoli dan hubungannya dengan ihtikar (menimbun barang). Pada artikel ini, penulis akan menyebutkan pandangan ulama dan kriteria ihtikar itu dilarang.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikaar, setidaknya ada tiga pendapat tentang masalah ini:[1]
- Haram Secara Mutlak
Segala jenis barang yang dibutuhkan manusia (tidak hanya bahan makanan) tidak boleh ditimbun. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Yusuf dari kalangan hanafiyyah dan selainnya.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(لا يحتكر إلا خاطئ)
”Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa”.[2]
- Haram Apabila Berupa Bahan Makanan Pokok Saja.
Adapun selain itu maka diperbolehkan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Nawawi rahimahumullah.
Dari Imam Ahmad rahimahullah dinukil pendapat bahwa yang diharamkan adalah menimbun bahan makanan pokok. Begitu juga dari kalangan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang diharamkan hanyalah menimbun bahan makanan pokok bukan lainnya, dan tidak ada ukurannya apakah barang-barang itu cukup persediaan atau tidak.
Pendapat ini berlandaskan dalil-dalil larangan ihtikar yang bersifat umum sebagaimana telah lalu, dan ada juga dalil-dalil yang bersifat khusus dan spesifik seperti dalam hadits riwayat sahabat Umar bin Khattab:
مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالإِفْلَاسِ
“Barang siapa yang menimbun makanan dari kaum muslimin, Allah akan menimpakan penyakit kusta dan kebangkrutan baginya.” [3]
Dan dalam hadits riwayat Muslim di atas, yang secara umum melarang ihtikar, disebutkan bahwa perawi hadits Ma’mar telah menimbun minyak. Hal ini dapat dipahami bahwa larangan hadits tersebut khusus untuk bahan makanan pokok dan membolehkan ihtikar selain dari pada itu.
Dalam kaidah ushul fiqih: حُمِل الْعَامُّ عَلَى الْخَاصِّ وَالْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
(nash yang umum dibawa ke nash yang khusus, dan yang mutlak dibawa ke yang muqoyyad/terikat).
- Haram apabila berupa bahan makanan dan pakaian saja.
Ini adalah pendapat Muhammad bin Hasan dari kalangan hanafiyyah. Alasannya adalah bahan makanan dan pakaian merupakan kebutuhan pokok (hajah dharuriyyah).
Adapun pendapat yang terkuat wallahu a’lam adalah diharamkannya ihtikaar mencakup semua jenis barang yang dibutuhkan oleh manusia. Hal ini karena karena keumuman hadits-hadits Nabi yang melarang ihtikaar, dalil-dalil itu bersifat umum. Adapun beberapa hadits yang menyebutkan bahan makanan saja maka itu termasuk penyebutan contoh yang dilarang. Dalam kaidah ushul fiqih, nash-nash yang khusus itu masuk dalam bab laqob, dan laqob itu tidak berlaku kaidah mafhum mukholafah yang bermakna berarti selain bahan makanan dibolehkan.
Sehingga larangan menimbun (ihtikaar) mencakup semua kebutuhan manusia secara umum baik bahan makanan atau lainnya, maka termasuk yang dilarang adalah menimbun sembako (beras, minyak, gula, dll), BBM, bahan bangunan, pupuk, dan semua barang yang dibutuhkan manusia.
Syaikh Sayyid Sabiq berkata dalam kitabnya[4]:
“Para ahli fiqih berpendapat bahwa penimbunan barang diharamkan (terlarang) setelah memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Barang yang ditimbun lebih dari apa yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh. Karena seseorang hanya dibolehkan menyimpan atau menimbun persediaan nafkah pangan untuk diri sendiri dan keluarganya selama satu tahun, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Pemilik tersebut menanti kenaikan harga barang agar pada saat menjualnya ia mendapatkan harga yang lebih tinggi.
- Penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang-barang tersebut seperti makanan, pakaian dsb. Apabila barang-barang tersebut berada di tangan para pedagang dan tidak dibutuhkan oleh masyarakat, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan barang karena tidak menimbulkan kesulitan publik.”
Oleh:
Ust. Moch. Taufiq, B.A.
[1] Wizaroh Auqaf Kuwait, 2010. Mausuah Fiqhiyyah Kuwaitiyah.
[3]Dilemahkan oleh Syaikh Albani dalam kitabnya Dha’if al Jami no 535.
[4] Sabiq, Sayyid. 1977. Fiqhus Sunnah. Darul Kitab Al Araby. Beirut. Jilid 3. Hal. 106.