Bahaya LGBT bagi Masyarakat dan Keluarga: Solusi dalam Syariat Islam (Bagian 1)
Pendahuluan
Homoseksualitas adalah kesenangan yang terus menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain, homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, homoseksualitas dimasukkan dalam kategori gangguan psikoseksual dan disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin atau preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu mengharapkan yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari pengobatan untuk mengubahnya.” Artinya homoseksualitas dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak senang dengan orientasi seksualnya dan bermaksud mengubahnya[1].
Baca juga: Hak-Hak Bersama Suami dan Istri dalam Islam agar sakinah
Fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Trasngender) – homoseksualitas – kini menjadi tantangan global yang tak luput mempengaruhi masyarakat Muslim. Sebagai umat Islam, penting untuk memahami fenomena ini melalui kacamata syariat, sehingga kita dapat menilai secara adil sesuai tuntunan agama. Islam telah memberikan penjelasan terkait perilaku menyimpang ini,
Allah berfirman:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ أَتَأْتُونَ ٱلْفَـٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍۢ مِّنَ ٱلْعَـٰلَمِينَ
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). Ingatlah tatkala dia berkata kepada mereka: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?’”
[QS. Al-A’raf: 80]
Dari situ, Allah menjelaskan bahwa perbuatan LGBT ini adalah perbuatan yang awalnya dilakukan oleh kaum Nabi Luth alaihissalam.
Kemudian dipertegas di ayat berikutnya dalam firman Allah:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهْوَةًۭ مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌۭ مُّسْرِفُونَ
“Sesungguhnya kamu benar-benar mendatangi laki-laki untuk melampiaskan syahwat, bukan kepada perempuan, bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.”
[QS. Al-A’raf: 81]
Baca juga: Menjadi Qawwam: Tugas dan Peran Suami dalam Islam
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Luth kepada kaum Sodom untuk menyeru mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan keji, yaitu homoseksualitas. Perilaku ini adalah penyimpangan besar dari fitrah manusia, yang belum pernah dilakukan oleh umat manusia sebelumnya. Nabi Luth memperingatkan mereka dengan tegas, namun mereka tetap dalam kemaksiatan dan menolak kebenaran.
Dalam penjelasan ayatnya, Nabi Luth menawarkan mereka untuk menikahi wanita dari kaumnya sebagai jalan yang benar, tetapi mereka menolak dengan alasan tidak memiliki keinginan kepada wanita. Para mufassir juga menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan di kaum ini telah meninggalkan hubungan yang halal dan saling merasa cukup dengan sesama jenis[2].
Kisah ini menegaskan betapa besar penyimpangan kaum Luth dan bagaimana Allah mengutuk tindakan tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap syariat dan fitrah manusia.
Pendapat Ulama Mengenai Penyimpangan LGBT
Para ulama sepakat bahwa homoseksualitas (liwath) adalah perbuatan yang diharamkan secara syariat Islam dan termasuk dosa besar yang bahkan lebih keji daripada zina. Perbuatan ini dikategorikan sebagai salah satu fahisyah (perbuatan keji) berdasarkan dalil-dalil yang mutawatir dalam Al-Qur’an dan Hadis. Selain itu, pelakunya pun diancam dengan laknat-Nya.
Namun, ulama berbeda pendapat dalam dua aspek berikut:
- Cara pembuktian perbuatan homoseksual.
- Apakah hukuman atas homoseksual adalah hudud atau ta’zir.
Cara Pembuktian Perbuatan Homoseksual
Pendapat ulama terkait cara pembuktian perbuatan homoseksual adalah sebagai berikut:
Pendapat Mayoritas (Maliki, Syafi’i, Hanbali):
Perbuatan homoseksual hanya dapat dibuktikan dengan syarat yang sama seperti pembuktian zina, yaitu:
- Harus ada empat saksi laki-laki yang adil.
- Para saksi harus menyaksikan dengan jelas terjadinya penetrasi.
Jika tidak ada saksi seperti itu, maka hukuman tidak dapat dijatuhkan.
Pendapat Madzhab Hanafi:
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa bukti homoseksual tidak setara dengan bukti zina karena dampak buruk homoseksual dianggap lebih ringan. Homoseksual tidak menyebabkan kehamilan, pencampuran nasab, atau pelanggaran kehormatan yang setara dengan zina. Oleh karena itu, pembuktian cukup dengan dua orang saksi yang adil. Mazhab ini menyatakan bahwa homoseksual tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan zina tanpa dalil eksplisit dari Al-Qur’an atau Sunnah.
Baca juga: Wali Nikah Tidak Shalat dan Mengingkari Hari Akhir: Apakah Sah?
Hukuman bagi Pelaku Homoseksual
Pendapat ulama terkait hukuman homoseksual adalah sebagai berikut:
Pendapat Mayoritas (Maliki, Hanbali, Syafi’i):
Jika perbuatan homoseksual terbukti, maka pelaku dikenakan hudud (hukuman tetap dari syariat), dengan hukuman sebagai berikut:
- Hukuman mati:
- Pelaku homoseksual, baik pelaku utama (fa’il) maupun korban yang pasif (maf’ul bih), dihukum mati, baik dia masih lajang (bikr) maupun sudah menikah (muhshan).
- Hukuman mati dapat dilaksanakan dengan cara dirajam (dilempari batu sampai mati) atau dipenggal dengan pedang.
- Dalil-dalil pendukung:
- Hadits Nabi Muhammad ﷺ:
اقْتُلُوا الفَاعِلَ وَالمَفْعُولَ بِهِ
“Bunuhlah pelaku homoseksual, baik yang aktif maupun pasif.”
[HR. Tirmidzi, no. 1456; Hadits Shahih]
Disebutkan juga dalam hadits lainnya:
ارْجُمُوا الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ
“Bunuhlah (dengan cara rajam) pelaku atas (al-a’la) dan pelaku bawah (al-asfal).”
[HR. Ibnu Majah, no 2562; Hadits Hasan Lighairihi]
- Kisah Nabi Luth dalam Al-Qur’an yang menyebut perbuatan ini sebagai fahisyah (perbuatan keji) dan menegaskan hukuman berat bagi kaumnya.
- Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata bahwa pelaku homoseksual yang belum menikah tetap dirajam.
- Imam Ibrahim al-Nakha’i rahimahullah menyatakan bahwa pelaku homoseksual lebih pantas dihukum berat dibandingkan pelaku zina.
Pendapat Madzhab Syafi’i (dalam riwayat lain):
Dalam riwayat lain, Madzhab Syafi’i menyamakan hukuman homoseksual dengan zina, yaitu:
- Pelaku yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun.
- Pelaku yang sudah menikah dirajam sampai mati.
Pendapat Madzhab Hanafi:
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa perbuatan homoseksual tidak dikenakan hudud karena tidak ada dalil eksplisit dari Al-Qur’an atau Sunnah yang menetapkan hal itu. Namun, pelaku harus dikenakan ta’zir (hukuman atas kebijakan hakim) yang cukup untuk memberikan efek jera.
Jika pelaku terus mengulangi perbuatannya dan tidak jera, maka hakim dapat memutuskan hukuman mati dengan pedang sebagai hukuman ta’zir[3].
Dalam Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan, secara tegas dinyatakan bahwa perbuatan sodomi (liwath), baik yang dilakukan oleh pelaku lesbian maupun gay, hukumnya haram dan termasuk dalam kategori kejahatan. Pelaku dikenakan hukuman ta’zir dengan tingkat hukuman yang dapat mencapai batas maksimal, yaitu hukuman mati. Selain itu, jika kejahatan homoseksual, sodomi, atau pencabulan dilakukan terhadap anak-anak sebagai korban, pelaku juga dijatuhi pemberatan hukuman hingga hukuman mati[4].
Dalam hal ini bisa kita simpulkan, para ulama sepakat bahwa homoseksualitas adalah dosa besar yang dilarang keras oleh Agama Islam. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal pembuktian dan jenis hukumannya. Sebagian besar menetapkan hukuman mati, sedangkan sebagian lainnya memilih hukuman ta’zir. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Agama Islam dalam mencegah dan menghukum perilaku yang menyimpang dari fitrah manusia.
Baca juga: Takut Menikah dan Melahirkan? Apa pandangan Islam?
Dampak LGBT bagi Masyarakat
Ketika perilaku LGBT dinormalisasi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang melakukannya, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan. Kehancuran moral, masalah kesehatan, dan disintegrasi sosial adalah beberapa dampak yang paling nyata dari perilaku ini. Prof. Dr. Abdul Hamid El-Qudah, Seorang Dokter Spesialis Penyakit Kelamin Menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam Dunia (FIMA) menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkan dari LGBT adalah[5]:
Dampak Kesehatan
Dampak-dampak kesehatan yang ditimbulkan LGBT adalah 78% pelaku homoseksual terjangkit penyakit-penyakit menular dan rentan terhadap kematian. Fakta menyebutkan bahwa penderita HIV/Aids dan Cacar Monyet tertinggi adalah mereka yang melakukan hubungan anal seks. Sementara penyakit tersebut belum ditemukan obatnya[6].
Dampak Sosial
Seorang gay akan sulit mendapat ketenangan hidup karena berganti-ganti pasangan. Dalam suatu penelitian menyatakan bahwa “seorang gay mempunyai pasangan antara 20-206 orang pertahunnya. Sedangkan pasangan zina (laki-laki dan perempuan) saja tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya”. Sebanyak 43 persen orang gay yang didata dan diteliti menyatakan seumur hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang. 28 persen melakukannya dengan lebih dari 1000 orang. 79 persen melakukannya dengan pasangan yang tidak dikenali sama sekali dan 70 persen hanya merupakan pasangan kencan satu malam atau beberapa menit[7].
Berdasarkan penelitian di atas, melegalkan LGBT dengan ikatan pernikahan pada hakikatnya adalah tindakan yang sia-sia. Bukan hanya itu, bahkan merusak tatanan moral bangsa.
Dampak Pendidikan
Penelitian membuktikan bahwa pasangan homoseksual menghadapi permasalahan putus sekolah lima kali lebih besar dari pada siswa normal, karena mereka merasakan ketidaknyamanan dan 28 persen dari mereka dipaksa meninggalkan sekolah[8].
Dampak Keamanan
Kaum homoseksual menyebabkan 33 persen pelecehan seksual pada anak-anak di Amerika Serikat. Padahal populasi mereka hanyalah 2 persen dari keseluruhan penduduk Negara itu. Sementara itu di Indonesia dalam kurun waktu 2014 hingga 2016, telah terjadi 25 persen kasus pembunuhan sadis dengan latar belakang kehidupan pelaku dan atau korban dari kalangan pelaku homoseksual. Keadaan ini betul-betul merisaukan masyarakat[9].
Baca juga: Mahar dalam Islam: Apa Hakikat dan Esesnsinya?
Oleh: Raja Aby Affan, BA.
(Kandidat Master Tsaqafah Islamiyah, Universitas Islam Madinah)
Madinah, 4 Desember 2024 M / 3 Jumadal Akhir 1446 H.
Referensi:
[1] DepKes RI Tahun 1998: Hal 115.
[2] Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim: 3/399
[3] Al-Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah: 5/125-126.
[4] Kajian Terhadap Fatwa Mui Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan: Hal 5-6.
[5] Kaum Luth Masa Kini: Hal 65-71.
[6] Eksistensi Parafilia: Nature atau Nurture? Antara Perspektif Islam dan Pandangan Sains Modern: Hal 136.
Biased Studies and Sampling from LGBTQ Communities Created a Next-Level Social Stigma in Monkeypox: A Public Health Emergency of International Concern (PHEIC): Hal 206.
[7] Dampak Lgbt dan Antisipasinya di Masyarakat: Hal 111.
[8] Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kontroversi dan Dampak LGBT Bagi Pembangunan Keluarga di Indonesia: Hal 32.
[9] Dampak LGBT dan Antisipasinya di Masyarakat: Hal 111-112.
Artikel RSUD Padang Panjang, Penyuluhan Tentang Dampak dan Bahaya LGBT dari Perspektif Psikologis, 2021 (Terakhir dilihat: 4/12/2024): http://rsud.padangpanjang.go.id/24/05/2021/penyuluhan-tentang-dampak-dan-bahaya-lgbt-dari-perspektif-pisikologis-