PENDAHULUAN
Tidak diragukan lagi bahwa perbedaan terbitnya hilal adalah sesuatu yang diketahui secara pasti: baik secara inderawi maupun akal sehat, dan tidak ada seorang pun dari ulama Muslim maupun selain mereka yang berbeda pendapat dalam hal ini.
Baca juga: Bekal Ramadhan #1: Membangun Kesadaran Hati untuk Menyambut Bulan Suci
DUDUK PERMASALAHAN
Perbedaan pendapat di antara ulama Muslim hanya terjadi pada pertimbangan perbedaan terbitnya hilal dalam memulai puasa bulan Ramadan dan berbuka darinya, yang memiliki dua pendapat:
- Sebagian imam fikih berpendapat untuk mempertimbangkan perbedaan terbitnya hilal di awal dan akhir Ramadan. Jika ada kesepakatan, maka wajib berpuasa bagi siapa pun yang sesuai dengan negara yang melihat hilal di tempat terbitnya hilal, dan tidak wajib bagi yang tidak sesuai dengan tempat terbitnya hilal jika tidak melihatnya.
- Sebagian dari mereka tidak melihat adanya pertimbangan perbedaan tempat terbitnya hilal, maka jika penduduk suatu negara melihatnya, seluruh umat manusia wajib berpuasa. Pendapat ini lebih dekat pada persatuan umat Islam dan kesatuan kata mereka, serta tidak adanya perpecahan di antara mereka. Jika mereka berkumpul dan hari puasa mereka serta hari raya mereka sama, maka itu lebih baik dan lebih kuat bagi umat Islam dalam persatuan mereka.
Akan tetapi mereka juga bersepakat bahwa tidak mempertimbangkan perbedaan tempat terbitnya hilal jika jarak negerinya jauh seperti dari andalus (spanyol) ke hijaz (Madinah, mekkah, thaif) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (2/50).
PENDAPAT PARA ULAMATERKAIT PERBEDAAN TEMPAT TERBITNYA HILAL
Para ulama, semoga Allah merahmati mereka, berbeda pendapat dalam mempertimbangkan perbedaan tempat terbitnya hilal atau tidak, sebagai berikut:
- Pendapat Pertama: Mayoritas ulama Hanafiyah, yang merupakan pendapat yang dipegang oleh mereka, dan ulama Malikiyah, serta Hanabilah, dan juga merupakan pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, berpendapat untuk tidak mempertimbangkan perbedaan tempat terbitnya hilal dalam menetapkan masuk dan keluarnya Ramadan. Jika telah ditetapkan masuknya Ramadan, maka wajib bagi seluruh umat Islam di semua negara untuk berpuasa, dan begitu pula jika telah ditetapkan keluarnya bulan Ramadan, maka mereka wajib berbuka. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni: “Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian sahabat Asy-Syafi’i. Sebagian mereka berkata: Jika antara dua negara terdapat jarak yang dekat yang tidak menyebabkan perbedaan tempat terbitnya hilal, seperti Baghdad dan Bashrah, maka penduduknya wajib berpuasa dengan melihat hilal di salah satu dari keduanya. Jika antara keduanya terdapat jarak yang jauh, seperti Irak, Hijaz, dan Syam, maka setiap penduduk negara memiliki ru’yah (penglihatan) mereka sendiri. Ini adalah mazhab Al-Qasim, Salim, dan Ishaq, berdasarkan riwayat dari Kuraib, ia berkata: Saya datang ke Syam dan hilal Ramadan muncul ketika saya di Syam, maka kami melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian saya datang ke Madinah di akhir bulan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepada saya, kemudian menyebutkan tentang hilal, ia berkata: Kapan kalian melihat hilal? Saya berkata: Kami melihatnya pada malam Jumat. Ia berkata: Kamu melihatnya pada malam Jumat? Saya berkata: Ya, dan orang-orang juga melihatnya dan berpuasa, dan Muawiyah juga berpuasa. Ia berkata: Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan terus berpuasa sampai kami menyempurnakan tiga puluh hari atau melihatnya. Saya berkata: Apakah kamu tidak cukup dengan ru’yah (penglihatan) Muawiyah dan puasanya? Ia berkata: Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” [Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1087]. Kemudian Ibnu Qudamah berkata: “Dan pendapat kami berdasarkan firman Allah Ta’ala: {فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} (Maka barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa). Dan ia menyebutkan hadis-hadis tentang kewajiban puasa Ramadan, kemudian berkata: “Kaum Muslimin telah bersepakat atas kewajiban puasa bulan Ramadan, dan telah terbukti bahwa hari ini adalah bagian dari bulan Ramadan dengan persaksian orang-orang yang terpercaya, maka wajiblah puasanya bagi seluruh umat Islam. Dan karena bulan Ramadan adalah antara dua hilal dan telah terbukti bahwa hari ini termasuk di dalamnya dalam semua hukum, seperti jatuh tempo hutang, terjadinya talak, dan pembebasan budak, serta wajibnya nazar dan lain-lain dari hukum, maka wajiblah puasanya berdasarkan nash dan ijma’. Dan karena keterangan yang adil telah bersaksi dengan melihat hilal, maka wajiblah puasa, sebagaimana jika berdekatan antar negara. Adapun hadis Kuraib, maka hanya menunjukkan bahwa mereka tidak berbuka hanya dengan perkataan Kuraib sendiri dan kami juga mengatakan demikian…).” [Al-Mughni li Ibnu Qudamah, 4/328-329].
- Pendapat Kedua: Ulama Syafi’iyah dalam pendapat yang paling sahih menurut mereka, dan juga merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad, serta dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Bahwa yang dianggap adalah perbedaan tempat terbitnya hilal, maka wajib berpuasa bagi siapa pun yang sesuai dengan negara yang melihat hilal di tempat terbitnya, tidak bagi yang tidak sesuai dengannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Perbedaan tempat terbitnya hilal itu berbeda-beda berdasarkan kesepakatan para ahli dalam hal ini. Jika ada kesepakatan, maka wajib berpuasa, jika tidak, maka tidak. Ini adalah pendapat yang paling sahih dari Syafi’iyah, dan juga merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Ahmad.” [Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 158, dan Majmu’ Al-Fatawa li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/103-113].
- Pendapat Ketiga: Bahwa manusia itu mengikuti imam, jika imam berpuasa maka mereka berpuasa, dan jika imam berbuka maka mereka berbuka, walaupun kekhilafahan itu untuk seluruh umat Islam, lalu orang-orang melihatnya di negeri khalifah, kemudian khalifah memutuskan ketetapannya, maka wajib bagi orang yang berada di bawah kekuasaannya di timur dan barat bumi untuk berpuasa atau berbuka bersama khalifah, dan ‘amal (perbuatan) manusia hari ini adalah seperti ini. Ini adalah pendapat yang kuat, bahkan jika kita membenarkan pendapat kedua yang di dalamnya dihukumi dengan mempertimbangkan perbedaan tempat terbitnya hilal, maka wajib bagi siapa yang melihat masalah ini dibangun di atas pertimbangan tempat terbitnya hilal untuk tidak menunjukkan perbedaan dengan apa yang ada pada manusia. [Ini dikatakan oleh Ibnu Al-Majisyun dari Malikiyah sebagaimana dalam Bidayatul Mujtahid, 1/288, dan lihat: Asy-Syarh Al-Mumti’ li Ibnu Utsaimin, 6/322].
- Pendapat Keempat: Bahwa hukum ru’yah (penglihatan) itu mewajibkan bagi siapa saja yang memungkinkan sampai berita kepadanya pada malam hari, dan ini sesuai dengan mazhab Hanabilah pada saat ini, karena memungkinkan untuk sampai berita ke seluruh penjuru dunia dalam waktu kurang dari satu menit, tetapi berbeda dengan mazhab Hanabilah jika sarana komunikasi tidak ada. [Asy-Syarh Al-Mumti’ li Ibnu Utsaimin, 6/323].
- Pendapat Kelima: Bahwa hukum ru’yah (penglihatan) itu wajib bagi semua orang jika terlihat di Makkah, dan ini dikatakan oleh Syaikh Ahmad Syakir. [Lihat: Ar-Raudh Al-Murabba’ Syarh Zad Al-Mustaqni’ dengan catatan dan komentar para masyaikh: Abdullah Ath-Thayyar, Al-Ghushn, dan Al-Musyaiqih, 4/273] dan mereka menisbatkan kepada Al-‘Alam Al-Mansyur fi Itsbat Asy-Syuhur, hlm. 13, dan Awa’il Asy-Syuhur Al-‘Arabiyyah, hlm. 21]. Dan lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, terbitan Kementerian Wakaf Kuwait, 22/35, maddah ((رؤية)) dan 23/142, maddah ((رمضان)), dan 28/18].
Yang paling jelas adalah bahwa tidak ada keberatan bagi penduduk negara mana pun jika mereka tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh Sya’ban atau malam ketiga puluh Ramadan untuk mengambil ru’yah (penglihatan) tersebut jika telah terbukti di tempat terbitnya yang lain, karena keumuman dalil-dalil. Akan tetapi, jika mereka berbeda pendapat di antara mereka, maka mereka mengambil hukum penguasa di negara mereka jika penguasa tersebut Muslim. Karena hukum penguasa dengan salah satu dari dua pendapat itu menghilangkan perselisihan dan mewajibkan bagi orang yang berada di bawah kekuasaannya untuk mengamalkannya. Dan jika penguasa tersebut bukan Muslim, maka mereka mengambil hukum al-Markaz al-Islami/Pusat Islam di negara mereka untuk menjaga persatuan Islam dalam puasa Ramadan mereka, dan dalam salat Id mereka di negara mereka. Lihat Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, 10/100-102 & 10/
KEPUTUSAN Hai’ah Kibar al-‘Ulama
Dan telah dikeluarkan keputusan mengenai masalah ini dari Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Senior) Tanggal Keputusan 13/2/1393 H., maka majelis tersebut memutuskan sebagai berikut:
“Pertama: Perbedaan tempat terbitnya hilal adalah termasuk perkara yang diketahui secara pasti baik secara inderawi maupun akal sehat, dan tidak ada seorang pun yang berselisih di dalamnya. Hanya saja perselisihan terjadi di antara ulama Muslim dalam hal mempertimbangkan perbedaan tempat terbitnya hilal atau tidak.
Kedua: Masalah mempertimbangkan tempat terbitnya hilal atau tidak adalah termasuk masalah nazhariyyah (teoritis) yang masih mungkin untuk berijtihad di dalamnya. Perbedaan pendapat dalam masalah ini dan yang serupa dengannya terjadi pada orang-orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu dan agama. Ini termasuk khilaf (perbedaan pendapat) yang dibolehkan, di mana orang yang benar akan mendapatkan dua pahala: pahala ijtihad dan pahala kebenaran, dan orang yang salah akan mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat: Ada yang berpendapat untuk mempertimbangkan perbedaan tempat terbitnya hilal, dan ada yang tidak mempertimbangkannya. Masing-masing kelompok berdalil dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan terkadang kedua kelompok berdalil dengan nash yang sama, karena keduanya berserikat dalam berdalil dengan firman Allah Ta’ala: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ} (Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah (sebagai) petunjuk waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji). [Surah Al-Baqarah, ayat 189], dan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ((صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته …)) (Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)…) hadis. [HR. Bukhari, no. 1909, dan Muslim, no. 1081]. Hal itu karena perbedaan pemahaman dalam nash dan masing-masing menempuh jalan dalam berdalil dengannya. Ketika masalah ini dibahas di majelis Hai’ah, dan mengingat beberapa pertimbangan yang dinilai oleh Hai’ah, dan karena perbedaan pendapat dalam masalah mempertimbangkan tempat terbitnya hilal atau tidak ini tidak memiliki atsar/dampak yang dikhawatirkan akibatnya, dan telah berlalu sejak kemunculan agama ini selama empat belas abad, kami tidak mengetahui ada satu masa pun di mana persatuan umat الأمية (ummiyyah/buta huruf) atas satu ru’yah (penglihatan), maka anggota Hai’ah berpendapat untuk membiarkan keadaan seperti apa adanya, dan tidak membangkitkan tema ini, dan bahwa setiap negara Islam memiliki hak untuk memilih apa yang mereka anggap baik melalui ulama mereka dari dua pendapat yang disebutkan dalam masalah ini, karena masing-masing dari keduanya memiliki dalil dan sandaran.
Ketiga: Adapun yang berkaitan dengan penetapan hilal dengan hisab (perhitungan), maka setelah mempelajari apa yang disiapkan oleh al-Lajnah ad-Da’imah dalam hal itu, dan setelah merujuk kepada apa yang disebutkan oleh para ulama, maka semua anggota Hai’ah bersepakat untuk tidak mempertimbangkannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ((صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته …)) (Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)…) hadis. [HR. Bukhari, no. 1909, dan Muslim, no. 1081], dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ((لا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه)) (Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya (hilal)). [HR. Bukhari, no. 1906, dan Muslim, no. 1080]. (Dan hanya kepada Allah-lah taufik (petunjuk) dan semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya).” [Abhats Hai’ah Kibar al-‘Ulama’ bi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah, 3/32-34]. Dan dikutip dalam Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, 10/102-104.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah ta’ala menyebutkan: Bahwa negara-negara Islam jika sebagian mereka percaya kepada sebagian yang lain dan masing-masing dari mereka bersandar pada ru’yah (penglihatan) hilal di negara lain, maka itu baik karena keumuman hadis-hadis, dan jika hal itu tidak memungkinkan dan mereka berpuasa dengan ru’yah (penglihatan) mereka sendiri, maka tidak mengapa. Beliau rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa berkumpulnya umat Islam dalam puasa dan berbuka adalah perkara yang baik dan disukai oleh jiwa serta dituntut secara syar’i di mana hal tersebut memungkinkan. Akan tetapi tidak ada jalan untuk itu kecuali dengan dua perkara:
Salah satunya: Hendaklah semua ulama Muslim menghapus bersandar pada hisab (perhitungan) sebagaimana yang dihapus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dihapus oleh salaf umat, dan mereka beramal dengan ru’yah (penglihatan) atau dengan menyempurnakan bilangan sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadis yang sahih. Dan sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menyebutkan dalam al-Fatawa 25/132-133 kesepakatan para ulama bahwa tidak boleh bersandar pada hisab (perhitungan) dalam menetapkan puasa dan berbuka serta yang serupa dengan keduanya, dan Al-Hafiz telah menukil dalam al-Fath 4/127 dari Al-Baji: Ijma’ (kesepakatan) salaf atas tidak mengakuinya hisab (perhitungan), dan bahwa ijma’ mereka adalah hujah bagi orang setelah mereka.
Perkara yang kedua: Hendaklah mereka komitmen untuk bersandar pada penetapan ru’yah (penglihatan) di negara Islam mana pun yang beramal dengan syariat Allah dan komitmen dengan hukum-hukumnya, maka kapan saja ditetapkan di sana ru’yah (penglihatan) hilal dengan keterangan yang syar’i baik masuk maupun keluar, maka mereka mengikutinya dalam hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ((صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فأكملوا العدة)) (Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal), jika mendung atas kalian maka sempurnakanlah bilangan (Sya’ban)). [HR. Bukhari, no. 1909], dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: ((إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا وهكذا)) “kami adalah umat yang tidak menulis dan menghitung” dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya tiga kali dan mengikat ibu jarinya pada yang ketiga, ((الشهر هكذا وهكذا وهكذا)) dan beliau mengisyaratkan dengan jari-jarinya semuanya. [HR. Bukhari, no. 1913, dan Muslim, no. 1080] Maksudnya adalah – semoga shalawat dan salam tercurah atasnya – bahwa bulan itu bisa jadi dua puluh sembilan, dan bisa jadi tiga puluh. Hadis-hadis dalam makna ini banyak, dari hadis Ibnu Umar, Abu Hurairah, Hudzaifah bin Yaman, dan selain mereka – radhiyallahu ‘anhum. Dan maklum bahwa khitab/seruan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak khusus untuk penduduk Madinah saja, bahkan merupakan khitab (seruan) untuk seluruh umat di semua masa dan negeri hingga hari kiamat. Maka kapan saja terpenuhi dua perkara ini, memungkinkan bagi negara-negara Islam untuk berkumpul dalam puasa semuanya, dan berbuka semuanya. Maka kita memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada mereka untuk itu dan menolong mereka dalam menerapkan syariat Islam, dan menolak apa yang menyelisihinya…).” [Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 15/76] [Dan lihat: 15/76 – 145].
__________________________________
Referensi:
- Bidayatul mujtahid karya Ibnu Rusyd. Darul Hadits Kairo 1425 H.
- Ash Shiyam fil Islam fi Dhouil Quran was Sunnah karya Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qohthoni. Markaz Dakwah wal Irsyad bil Qoshob Cet 2 1431 H.
Ditulis oleh
Muhammad Taufik, B.A, M.A
Madinah, 22 Sya’ban 1446 H/ 21 Februari 2025 M