Puasa Syawal: Hukum dan Keutamaannya dalam Islam

hukum puasa syawal dan keuatamaanya

PUASA SYAWAL: HUKUM DAN KEUTAMAANNYA

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyariatkan berbagai bentuk ibadah dan ketaatan sebagai sarana penyucian jiwa. Semakin giat seorang mukmin menjalankan ketaatan, maka semakin baik keadaannya dan semakin dekat ia kepada Allah. Sebaliknya, makin banyak seseorang melakukan maksiat, semakin keras pula hatinya.

Musim ibadah dan amal kebaikan terus bergulir sepanjang tahun. Setelah Ramadhan berlalu, datang bulan Syawal. Di antara bentuk rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah disyariatkannya puasa enam hari di bulan Syawal, yang memiliki keutamaan besar, setara dengan puasa selama satu tahun penuh. Artikel ini membahas secara ringkas hukum dan keutamaan puasa Syawal berdasarkan dalil dan pendapat para ulama. Semoga bermanfaat.

Baca juga: Istiqamah Setelah Ramadhan: Jangan Lupakan Allah

Hukum Puasa Syawal

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum puasa enam hari di bulan Syawal:

Pendapat pertama: Puasa Syawal hukumnya sunnah (mustahab). Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi’i, Hanbali, serta sebagian Hanafiyah dan Malikiyah. Dalilnya adalah hadits sahih dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَن صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim no. 1164)

Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan:

وَقَدِ ٱسْتَحَبَّ قَوْمٌ صِيَامَ سِتَّةٍ مِّنْ شَوَّالٍ لِهَذَا ٱلْحَدِيثِ
“Sebagian ulama menganjurkan puasa enam hari di bulan Syawal berdasarkan hadits ini.” (Sunan At-Tirmidzi)

Pendapat kedua: Puasa Syawal hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat dari sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah, termasuk Imam Malik yang dikenal tidak menganjurkan puasa enam hari Syawal karena dikhawatirkan dianggap sebagai bagian dari puasa wajib Ramadhan.

Namun, sebagian besar ulama kontemporer dalam mazhab Hanafi dan Maliki menjelaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak lagi relevan selama tidak diyakini sebagai kewajiban.

Pendapat yang kuat (rajih) adalah pendapat jumhur yang menyatakan puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunnah, berdasarkan hadits shahih dan diamalkan oleh banyak salaf.

Bolehkah Puasa Syawal Sebelum Mengqadha Ramadhan?

Para ulama juga berselisih pendapat mengenai apakah boleh mendahulukan puasa Syawal sebelum mengqadha puasa Ramadhan:

Pendapat pertama: Boleh. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, sebagian ulama Syafi’iyyah muta’akhirin, dan salah satu pendapat dalam mazhab Hanbali. Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
“Aku memiliki kewajiban puasa Ramadhan, tetapi aku tidak dapat mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat kedua: Dimakruhkan mendahulukan puasa sunnah sebelum qadha. Ini adalah pendapat mazhab Maliki dan sebagian Syafi’iyyah.

Pendapat ketiga: Diharamkan. Sebagian pendapat dalam mazhab Hanbali menyatakan bahwa puasa sunnah tidak sah kecuali setelah menyempurnakan puasa Ramadhan.

Kesimpulannya, mayoritas ulama memperbolehkan puasa Syawal sebelum qadha, tetapi yang lebih utama adalah menyelesaikan qadha terlebih dahulu agar keluar dari perbedaan pendapat.

Baca juga: Pengelolaan Keuangan keluarga: Suami atau Istri yang Mengatur?

Keutamaan Puasa Syawal

  1. Pahala seperti puasa setahun penuh
    Hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu:

مَن صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

  1. Menyempurnakan kekurangan dalam puasa Ramadhan
    Sebagaimana shalat sunnah rawatib menyempurnakan kekurangan dalam shalat wajib, puasa Syawal melengkapi kekurangan dalam puasa Ramadhan.
  2. Tanda diterimanya amal Ramadhan
    Sebagian ulama berkata:

ثَوَابُ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا
“Balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya.”

Jika seorang hamba kembali beribadah setelah Ramadhan, maka itu pertanda amalnya diterima.

  1. Bentuk syukur atas ampunan dosa
    Rasulullah ﷺ bersabda:

أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku seharusnya menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Tanda ibadahnya konsisten, bukan musiman
    Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)

Semoga Allah memudahkan kita untuk senantiasa taat dan istiqamah dalam amal kebaikan. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan keutamaan puasa Syawal dan diterima seluruh amal ibadah kita.

Wallahu a’lam.

Baca juga: Apa Hukumnya Memanfaatkan Poin dari Marketplace?

Referensi:

  • Latha’if Al-Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hanbali
  • Al-Muntaqa Syarh Al-Muwatta’, Abu Al-Walid Al-Baji
  • Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi
  • Fatwa Syaikh Bin Baz dan sumber fiqh lainnya

Ditulis oleh: Aditya Prayogo

Artikel Fiqihmuamalah.com

Sabtu, 6 Syawal 1446 H
Universitas Islam Madinah

Related posts

Istiqamah Setelah Ramadhan: Terus Dekat dengan Allah

10 Amalan Sunnah dan Adab di Hari Raya Idulfitri Sesuai Tuntunan Nabi ﷺ

Jadikan Malam Ganjil Ramadhan sebagai Momentum Taubat dan Meraih Lailatul Qadar