BEKAL RAMADHAN #3: KEUTAMAAN TAUBAT DALAM KEBANGKITAN JIWA

Pendahuluan

Dalam kehidupan ini, tidak hanya tubuh yang membutuhkan perhatian, tetapi jiwa juga memerlukan pemeliharaan yang benar. Dalam Islam, kehidupan jiwa mendapatkan perhatian khusus melalui berbagai syariat yang menunjukkan bagaimana kita dapat meraih kehidupan yang damai, baik secara lahiriah maupun batin. Jiwa seseorang sangat erat kaitannya dengan hati, karena hati merupakan pusat kehidupan jiwa. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحَت صلحَ الجسدُ كله، وإذا فسدت فسدَ الجسدُ كله، ألا وهي القلب

“Ketahuilah, bahwa dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Baca juga: Bekal Ramadhan #2: Perbedaan Antara Negara dalam Melihat Hilal

Hati adalah raja bagi tubuh kita. Sebagai pengendali, hati menentukan apakah kita mampu menjalani kehidupan dengan tenang atau malah terombang-ambing. Banyak orang yang menganggap kehidupan hanya berkaitan dengan kesehatan tubuh, kekayaan, atau pasangan yang ideal. Namun, sesungguhnya kehidupan yang sejati tidak terletak pada hal-hal tersebut. Hidup yang tenang dan bahagia akan tercapai jika jiwa kita merasa cukup, dan hal ini hanya dapat diperoleh ketika kita menjaga hati kita dari kotoran dosa.

 Bahaya Hati yang Kotor

Setiap dosa yang dilakukan akan meninggalkan noda pada hati. Dosa tersebut akan menutupi hati dan menjauhkan kita dari kebaikan. Hati yang tercemar oleh dosa akan menyebabkan seseorang merasa kesulitan untuk beribadah dan berbuat baik. Hal ini juga menghalangi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah, berzikir, mendirikan shalat, berpuasa, dan melakukan amal ibadah lainnya. Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu menyebutkan:

إن للسيئة سوادًا في الوجه، وظلمة في القلب، ووهنًا في البدن، ونقصًا في الرزق، وبغضة في قلوب الخلق

“Sesungguhnya perbuatan dosa memiliki dampak berupa keburukan yang terlihat di wajah, kegelapan di hati, kelemahan pada tubuh, berkurangnya rezeki, dan kebencian di hati makhluk.”[2]

Oleh karena itu, membersihkan hati dari dosa adalah hal yang sangat penting. Salah satu cara utama untuk membersihkan hati yang telah ternodai oleh dosa adalah dengan bertaubat kepada Allah.

Baca juga: Bekal Ramadhan #1: Membangun Kesadaran Hati untuk Menyambut Bulan Suci

 Keutamaan Taubat

Taubat adalah pintu rahmat yang dibuka oleh Allah untuk setiap hamba-Nya yang telah melakukan kesalahan. Ada banyak keutamaan bagi seseorang yang bertaubat, dan berikut ini adalah beberapa di antaranya:

  • Mendapatkan Kecintaan Allah

Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Dalam Al-Quran Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوّابينَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Kecintaan Allah adalah karunia besar yang mengarah pada banyak kebaikan. Ketika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan membimbingnya untuk selalu melakukan kebaikan, menjauhi keburukan, dan mempermudah segala urusannya. Allah akan mengabulkan doa-doanya dan menolongnya di dalam keadaan sulit. Seseorang yang senantiasa bertaubat akan mendapatkan kecintaan Allah yang akan membawa banyak keberkahan di dalam hidupnya.

  • Membersihkan Hati dari Dosa

Taubat adalah cara untuk membersihkan hati dari dosa-dosa yang menodainya. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ سَقَلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَذَاكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}

“Sesungguhnya ketika seorang hamba berbuat dosa, akan ada titik hitam yang tercatat di hatinya. Jika ia berhenti dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya akan menjadi bersih kembali. Namun, jika ia kembali berbuat dosa, maka titik hitam itu akan bertambah hingga menutupi hatinya, dan itulah ‘ran’ yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: {Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang selalu mereka usahakan itu telah menutupi hati mereka}(QS. Al-Mutaffifin: 14)(HR. Tirmidziy: dan beliau berkata hadits ini adalah hadits shahih.”[3]

Taubat yang tulus dapat membersihkan hati dari kegelapan dosa dan mengembalikan ketenangan pada jiwa. Dengan hati yang bersih menjadikan kita lebih mudah untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

  • Menunjukkan Kelemahan Manusia

Keutamaan taubat lainnya yaitu mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk yang lemah. Perbuatan dosa adalah ujian dari Allah untuk menguji ketundukan kita terhadap-Nya. Ketika seseorang bertaubat, ia mengakui kesalahannya dan kembali kepada Allah dengan penuh penyesalan. Ini menunjukkan kerendahan hati dan pengakuan terhadap kelemahan diri. Dalam keadaan ini, kita akan terdorong untuk terus meminta pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah dalam setiap perilaku yang kita lakukan.

  • Kekalahan Syaitan

Syaitan selalu berusaha menjauhkan kita dari Allah ﷻ , mereka disifati sebagai musuh bagi manusia, Allah ﷻ menyebutkan di dalam Al-Quran:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah dia sebagai musuh. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyeru golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fatir: 6). 

Namun, seseorang yang senantiasa bertaubat dan menjaga hubungannya dengan Allah akan semakin terhindar dari godaan syaitan, karena taubat merupakan bagian dari dzikir yang disyariatkan kepada umat islam. Dzikir adalah senjata terampuh dalam menjauhkan seseorang dari godaan syaitan, Rasulullah ﷺ bersabda:

وإن العبد أحصن ما يكون من الشيطان إذا كان في ذكر الله عز وجل

“Sesungguhnya seorang hamba paling terlindungi dari syaitan ketika ia dalam keadaan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad)[4]

Taubat yang dilakukan dengan ikhlas akan menjauhkan kita dari pengaruh syaitan dan menguatkan ikatan kita dengan Allah, yang mana hal tersebut akan membantu bangkitnya jiwa kita dan merupakan kekalahan bagi syaitan.

  • Kegembiraan Allah dengan Taubat Hamba-Nya

Allah sangat bergembira dengan taubat hamba-Nya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ menggambarkan kegembiraan Allah:

لله أشَدُّ فَرحاً بتوْبَةِ عَبْدهِ حينَ يَتوبُ إليْهِ مِنْ أحَدِكُم كانَ على راحِلَتِه بأرْضِ فَلاةٍ، فانْفَلتَتْ عنه، وعلَيْها طَعامُه وشرَابُه، فأَيِسَ مِنْها، فأتى شَجرةً فاضْطَجَع في ظِلِّها قَدْ أَيِسَ مِنْ راحِلَتِه، فبينَما هو كذلِكَ إذا هُوَ بها قائمةً عندَهُ، فأخَذَ بِخُطامِها ثُمَّ قال مِنْ شِدَّةِ الفَرحِ: اللَّهُمَّ أنْتَ عَبْدي وأنا ربُّكَ! أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الفَرحِ”

Sesungguhnya Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya, daripada salah seorang dari kalian yang berada di atas unta di suatu daerah tandus, lalu unta tersebut lepas darinya, dan di atasnya terdapat makanan dan minumannya. Ia pun putus asa darinya, kemudian ia pergi ke sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya, karena ia telah putus asa dari unta tersebut. Tiba-tiba unta itu datang dan berdiri di dekatnya, maka ia pun mengambil tali kekangnya, dan dalam keadaan sangat gembira ia berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu!’ Ia salah ucap karena sangat gembira.” (HR. Muslim)[5]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: ‘Kegembiraan ini tidak ditemukan dalam amal ibadah lain selain taubat. Kegembiraan ini memiliki pengaruh yang besar pada keadaan dan hati seorang yang bertaubat, dan ini termasuk rahasia takdir dosa-dosa atas hamba-hamba-Nya. Karena dengan taubat, seorang hamba mendapatkan kedudukan sebagai kekasih Allah, ia menjadi kekasih-Nya, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, dan Dia mencintai hamba-Nya yang senantiasa bertaubat dengan tulus.”[6]

Kegembiraan Allah dengan taubat hamba-Nya menunjukkan betapa besar kasih sayang dan rahmat Allah bagi hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Allah tidak akan menolak taubat hamba-Nya karena ia mengetahui bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan tidak lepas dari kesalahan.

  • Taubat Sebagai Sebab Keberuntungan

Keberuntungan sejati terletak pada kedamaian jiwa. Allah berfirman dalam Al-Quran:

تُوبُوا۟ إِلَىٰ ٱللَّهِ جَمِيعًۭا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Taubat bukan hanya membersihkan hati dari dosa, tetapi juga membawa keberuntungan berupa ketenangan jiwa. Dengan jiwa yang tenang, seseorang dapat menjalani hidup dengan lebih baik, lebih mudah dalam beribadah, dan menerima segala ketentuan Allah dengan lapang dada, yang mana tiga hal tersebut merupakan pokok dari kehidupan di dunia ini. Semua hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh taubat hamba dengan kebangkitan jiwanya.

 Kesimpulan

Taubat merupakan salah satu jalan menuju kebangkitan jiwa yang sejati. Dengan izin Allah taubat dapat membersihkan hati dari dosa, mengembalikan kedamaian dalam hidup, dan mendekatkan kita kepada Allah. Taubat bukan hanya sekadar pengakuan atas dosa, tetapi juga merupakan cara kita untuk kembali kepada fitrah dan mencapai keberuntungan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, mari kita senantiasa bertaubat dengan tulus agar hati kita tetap bersih, jiwa kita tetap hidup, dan kehidupan kita selalu dalam bimbingan Allah.

Wallahu a’lam

 

Oleh: Muhammad Ihsan Jusrin

Madinah, 17 Sya’ban 1446 H – 16 Februari 2025 M

________________________________________________________________________
Referensi

[1] Al-Imam An-Nawawiy,  Al-Arba’in an-Nawawiyyah hadits no.6. (Beirut: Dar al-Minhaj, 1430 H), hal 57.

[2] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Ad-Daa’ wa ad-Dawa’. (Riyadh: Dar Athoat al-Ilmi, 1440 H), hal. 135.

[3] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Ad-Daa’ wa ad-Dawa’. (Riyadh: Dar Athoat al-Ilmi, 1440 H), hal. 127.

[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad tahqiq Syu’aib al-Arnauth juz 28. (Muassah Risalah, 1421 H), hal. 405.

[5] Nashiruddin Al-Albaniy, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib juz 3. (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1421 H), hal 224.

[6] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Madarij as-Salikin juz 1 tahqiq Muhammad Ajmal al-Islahiy. (Riyadh: Dar Athoat al-Ilmi, 1441 H), hal. 460.

 

Related posts

Puasa Syawal: Hukum dan Keutamaannya dalam Islam

Istiqamah Setelah Ramadhan: Terus Dekat dengan Allah

10 Amalan Sunnah dan Adab di Hari Raya Idulfitri Sesuai Tuntunan Nabi ﷺ