Bolehkah Teman atau Tetangga Mewakili Pemilik Toko dalam Akad Jual Beli?

toko di pagi hari

Konsultasi Syariah 

Latar Belakang:

Terjadi di masyarakat yang punya toko sembako atau yang lainnya. Terkadang si pemilik toko mau pergi sebentar ke luar dan dia bilang ke teman atau tetangganya, “aku mau keluar sebentar, ya”.

Pertanyaan:

Apakah teman atau tetangganya tersebut boleh mewakili si pemilik toko untuk melakukan akad jual belinya ketika ada pembeli.?

Kami perlu dasar hukum atau pedoman dari alquran, Hadis atau dari Kitab.

Baca juga: Hukum Tidak Menyapa Tetangga dalam Islam

Jawaban:

Kasus ini erat kaitannya dengan akad wakalah. Wakalah dalam Islam disyariatkan sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (النساء:35)

“Dan jika kalian khawatir terjadi perselisihan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (penengah) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.”
(QS. An-Nisa: 35)

Ayat ini menjelaskan tentang penugasan (pendelegasian) kedua pihak suami istri untuk menunjuk wakil mereka agar dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Hal ini menunjukkan tentang bolehnya wakalah dalam Islam.

Hadis berikut juga menjadi landasan dibolehkannya wakalah.

عن عروة بن أبي الجعد أنه قال: (دفع إليَّ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ دينارًا لأشتريَ له شاةً فاشتريتُ له شاتَين فبِعتُ إحداهما بدينارٍ وجئتُ بالشاةِ والدينارِ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ) صححه الألباني في كتابه إرواء الغليل (5/129)

Dari ‘Urwah bin Abi Al-Ja’d, ia berkata:
“Rasulullah ﷺ memberikan kepadaku satu dinar untuk membeli seekor kambing untuk beliau. Maka aku membeli dua ekor kambing, lalu aku menjual salah satu darinya dengan harga satu dinar. Aku pun membawa seekor kambing dan satu dinar itu kepada Nabi ﷺ.” Disahihkan oleh Al-Albani dalam kitabnya Irwa’ Al-Ghalil (5/129).

Dalam hadits di atas diceritakan bahwa Rasulullah ﷺ menugaskan Urwah bin Abi Al-J’ad untuk membelikan domba untuk Rasulullah ﷺ, dan penugasan tersebut merupakan bentuk wakalah.

Setelah beberapa pendahuluan di atas, mari kita mulai menjawab pertanyaan penanya. Untuk menjawab pertanyaan di atas maka perlu diperhatikan rukun-rukun wakalah serta syarat-syaratnya dalam islam, serta kesesuaian hal tersebut dalam kasus yang disebutkan dalam pertanyaan.

Baca juga: Bagaiamana Panduan Menjual Rumah Secara Syari’ah?

Analisis Rukun dan Syarat Wakalah:

a)   Pemberi Kuasa (Al-Muwakkil):

Rukun pertama dalam akad wakalah adalah pemberi kuasa (al-muwakkil). Rukun ini memiliki beberapa syarat. Dalam konteks pertanyaan ini, maka pemilik toko harus memenuhi syarat-syarat berikut:

  • Baligh, maka tidak sah taukil (pemberian kuasa) dari anak kecil yang belum baligh.
  • Berakal, maka tidak sah pemberian kuasa dari orang yang hilang akal, baik secara permanen, dan apabila hilang akalnya sementara, maka disaat hilang akal itu taukilnya tidak sah.
  • Rasyid (cakap mengelola keuangan), maksudnya adalah orang tersebut pandai dan matang dalam mengelola masalah uang, tidak boros, dan semisalnya.

Pada umumnya para pemilik toko adalah orang dewasa yang memiliki kecakapan hukum, maka dapat kita katakan bahwa pemilik toko dalam konteks pertanyaan ini berhak untuk memberikan kuasa kepada orang lain.

b)   Penerima Kuasa (Al-Wakil):

Rukun kedua dalam akad wakalah adalah penerima kuasa (wakil), dalam pertanyaan ini maka teman atau tetangga bertindak sebagai wakil. Agar teman atau tetangga tersebut sah menerima kuasa maka harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimiliki oleh pemberi kuasa, yaitu baligh, berakal, rasyid. Karena dalam pengertian wakalah disebutkan : “Penyerahan kuasa dari seseorang yang cakap hukum kepada orang lain semisalnya untuk mewakilinya dalam hal-hal yang boleh dialihkan kuasanya. Baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak sesama manusia” (Al-Buhuti, 1968). Dalam pengertian disebutkan “orang lain semisalnya” maksudnya semisal dalam kecakapan hukum (baligh, berakal, rasyid).

Maka jika penerima kuasa dalam hal ini teman atau tetangga memenuhi syarat ini, maka mereka sah menjadi wakil.

c) Objek Wakalah (Al-Muwakkal Fihi):

Objek wakalah adalah bentuk barang atau perbuatan yang diserahkuasakan kepada wakil. Dan memiliki beberapa syarat berikut:

  • Objek wakalah merupakan milik penuh pemberi kuasa
  • Objek wakalah merupakah hal yang dapat diwakilkan secara syariat, contohnya: jual beli, sewa menyewa. Bukan hal yang tidak dapat diwakilkan, seperti ibadah Shalat.
  • Objek wakalah dapat diketahui secara jelas

Dalam konteks pertanyaan ini maka perlu dipastikan bahwa orang yang mengatakan “Aku mau keluar sebentar, ya” benar-benar pemilik toko, dan hal yang diwakilkan harus dijelaskan. Karena hanya sebatas perkataan  “Aku mau keluar sebentar, ya” tidak jelas maksudnya. Kecuali jika mereka sudah memiliki pemahaman bersama sebelumnya, dan masing-masing mengetahui makna dari perkataan tersebut bahwa itu adalah bentuk penyerahan kuasa untuk melakukan jual beli.

d)   Shighah (Lafaz atau Pernyataan):

Shighah merupakan ungkapan pemberian kuasa dari pihak pemberi kuasa  dalam hal ini pemilik toko kepada penerima kuasa dalam hal ini teman atau tetangganya. Shighah ini tidak terpaku pada perkataan saja, namun bisa juga dalam bentuk perbuatan, isyarat, tulisan, bahkan segala hal dan bentuk yang dapat menunjukkan keridhaan kedua belah pihak. Hal ini sebagaimana dijelasakan Syaikh Mustafa Az-Zarqa dalam kitabnya المدخل الفقهي العام (Pendahuluan Umum Ilmu Fiqih)(Az-Zarqa, 2004).

Dalam pertanyaan disebutkan bahwa perkataan yang diungkapkan oleh pemilik toko adalah perkataan “Aku mau keluar sebentar, ya.” Perkataaan ini perlu dianalisa, apakah ini sebagai bentuk persetujuan dari pemilik toko kepada tetangganya untuk menjadi wakilnya dalam bertransaksi atau tidak? Apabila hal tersebut sudah menjadi pemahaman mereka berdua bahwa itu merupakan taukil (penyerahan kuasa), maka hal tersbut sudah cukup untuk terjadinya akad wakalah. Namun jika tidak, maka temannya atau tetangganya perlu meminta penjelasan dan penegasan dari pemilik toko tenang maksud perkataanya. Karena perkataan tersebut sangat umum, bisa dimaknai sebagai penyerahan kuasa, bisa juga dimaknai sebagai pemberian amanah untuk sebatas menjaga toko saja. Akan lebih baik jika pemilik toko menegaskan secara langsung, misalnya: “Jika ada pembeli, tolong layani.”

Baca juga: Apakah Syarat Pernikahan Harus Dikembalikan Saat Khulu’?

Kesimpulan:

  1.   Wakalah dibolehkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat ulama.
  2.   Kasus ini dapat dianggap sebagai wakalah jika:

o   Pemilik toko memenuhi syarat baligh, berakal, dan rasyid.

o   Teman/tetangga memenuhi syarat sebagai wakil.

o   Ada kejelasan bahwa perkataan “Aku mau keluar sebentar, ya” dimaksudkan sebagai penyerahan kuasa (akad wakalah).

Jika pemahaman atau kesepakatan ini tidak ada, maka akad wakalah belum terjadi.

Kami menyarankan agar pemilik toko sebaiknya menyampaikan dengan jelas, misalnya: “Jika ada pembeli, tolong layani.” Teman atau tetangga juga dapat memastikan maksud pemilik toko untuk menghindari keraguan.

Baca juga: Takut Menikah dan Melahirkan? Apa pandangan Islam?

Dijawab oleh: Asep Ridwan Taufik, M.A.
(Kandidat Doktor Ekonomi Islam, Universitas Islam Madinah)

Artikel Fiqihmuamalah.com

Madinah, 23 Januari 2025


Referensi:

  • Al-Buhuti, M. bin Y. bin I. (1968). Kasyaaf Al-Qanaa’. An-Nashr Al-Haditsah Library.
  • Az-Zarqa, M. A. (2004). Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-Aam (2nd ed.). Dar Al-Qalam.

Related posts

Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dalam Islam: Suami atau Istri yang Mengatur?

Cara Bijak Mengajak Ibu Membagi Warisan Sesuai Syariat Islam

Menabung untuk Haji vs. Bersedekah: Haruskah Memilih Salah Satu?