Panduan Menjual Rumah Secara Syari’ah: Akad Jual Beli yang Tepat dan Hal-hal yang Harus Diperhatikan

House for sale in a peaceful village setting, with a glowing blue aura and fiqihmuamalah.com logo highlighting the property.

Konsultasi Syariah 

Pertanyaan:

Saya mempunyai rumah, ingin menjual rumah secara syar’i seperti apa?

Dyah Ayu Palupi – Surabaya

Baca juga: Titip Transfer untuk Teman: Memahami Apakah Termasuk Riba?


Jawaban Singkat:

Dalam menjual rumah, akad yang dapat digunakan sesuai syariat Islam adalah jual beli secara tunai, jual beli secara kredit, dan sewa yang berujung perpindahan hak milik. Penjual tidak boleh menetapkan denda keterlambatan pembayaran apabila menjual rumah secara kredit. Sedangkan jika menjual rumah dengan akad sewa yang berujung perpindahan hak milik, penjual tidak boleh meminta pembeli membayar sewa dan cicilan rumah dalam satu waktu secara bersamaan. Apabila ingin menggunakan perantara untuk mencari pembeli, penjual dapat melakukan akad samsarah (makelar) atau wakalah (wakil) dengan orang yang dipercayai.

Baca juga: Bagaiamana Cara yang Adil saat Membagi Warisan Keluarga

Jawaban Lengkap:

Seseorang yang memiliki rumah secara sempurna (al-milk at-tam), yaitu menguasai fisik dan manfaatnya secara utuh, berhak untuk melakukan transaksi atas barang yang dimiliki tersebut. Sebelum menjual rumah, pemilik harus memastikan terlebih dahulu bahwa rumah tersebut memiliki dokumen yang lengkap seperti sertifikat hak milik, tidak terlibat dalam sengketa apa pun, serta mendapatkan izin dari pemilik lainnya apabila rumah tersebut dimiliki lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan agar menghindari potensi terjadinya konflik di masa yang akan datang. Jika rumah tersebut sudah dipastikan aman untuk ditransaksikan, maka pemilik dapat menjualnya dengan beberapa opsi akad berikut ini:

1.Jual beli secara tunai (Al-Bai’)

Skema ini adalah bentuk asal dari akad jual beli (Al-Bai’) di mana pembeli menyerahkan uang dan penjual menyerahkan barang secara tunai dalam satu majlis. Dasar hukum dari akad ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Ilustrasi: Pemilik rumah menaksir harga rumah sebesar 700 juta. Setelah menemukan calon pembeli, pemilik rumah mengajaknya untuk memeriksa kondisi rumah secara langsung. Apabila dirasa cocok, pemilik rumah dan calon pembeli kemudian menyelesaikan transaksi pada waktu dan tempat yang disepakati. Pembeli menyerahkan uang secara tunai sesuai harga rumah yaitu 700 juta dan pemilik rumah menyerahkan dokumen kepemilikan dan kunci rumah di waktu dan tempat yang sama.

ِJika calon pembeli tidak memiliki uang tunai sejumlah harga rumah, sedangkan pemilik rumah menginginkan transaksi secara tunai, maka pemilik rumah dapat mengarahkan calon pembeli untuk mengajukan KPR ke Lembaga keuangan syariah setelah memastikan kesesuaian antara prosedur yang diterapkan dengan aturan dalam syariat Islam. Dalam skema ini, Lembaga keuangan syariah akan membeli rumah dari pemiliknya secara tunai dan kemudian membuat akad baru dengan pembeli. Pemilik rumah tidak boleh mengarahkan calon pembeli untuk mengajukan KPR ke bank konvensional yang menerapkan riba karena termasuk tolong-menolong dalam dosa[1].

2. Jual beli secara kredit/cicilan (Bai’ bit Taqsith)

Pemilik rumah boleh menawarkan kepada calon pembeli untuk membayar rumah dengan cara mencicil. Akad ini disebut dengan Bai’ bit Taqsith yang berarti jual beli dengan cicilan. Dasar hukum dari akad ini adalah pengakuan (iqrar) Nabi Muhammad shallahu alaihi wassalam terhadap transaksi yang akan dilakukan Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk membebaskan budak bernama Barirah:

وَعنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: جَاءَتْنِي بَرِيْرَهُّ فَقَالَتْ: إِنِّي كاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسع أَوَاقٍ، فِي كُلِّ عَامٍ أُوْقِيةٌ، فَأَعِيْنِيْنِي

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Barirah datang kepadaku lalu berkata: ‘Sesungguhnya saya melakukan mukatabah (memerdekakan diri) terhadap majikanku dengan sembilan uqiyah, per-tahunnya saya membayar satu uqiyah, maka bantulah saya’.” (HR. Bukhari)

Ilustrasi: Pemilik rumah menentukan harga rumah sebesar 750 juta jika dibeli dengan cara mencicil. Dia bersepakat dengan pembeli bahwa rumah tersebut akan dicicil selama sepuluh tahun dengan cicilan sebesar 6 juta setiap bulan. Setelah kesepakatan terjadi, pembeli membayar uang muka sebesar 30 juta dan pemilik rumah menyerahkan dokumen kepemilikan dan kunci rumah.

Dalam akad ini, penjual rumah boleh menetapkan harga jual yang lebih tinggi daripada harga tunai. Penjual juga boleh meminta pembeli untuk membayar uang muka sesuai nilai yang disepakati. Apabila di kemudian hari pembeli tidak mampu membayar cicilan sesuai dengan tenggat waktu setiap bulan, penjual tidak boleh mengenakan denda keterlambatan kepada pembeli. Denda keterlambatan ini termasuk dalam praktek riba jahiliyah yang diharamkan dalam syariat[2].

Baca juga: Bolehkah Menghibahkan Harta kepada Anak Laki-Laki Saja? Pendapat Syariat yang Perlu Anda Ketahu – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

3. Sewa yang berujung perpindahan hak milik (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik)

Salah satu akad yang baru muncul pada era kontemporer adalah Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT). IMBT adalah adalah akad sewa terhadap suatu barang yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan atas barang tersebut kepada penyewa. Akad ini merupakan hasil pengembangan dari akad ijarah (sewa) yang disambungkan dengan akad jual beli atau hibah. Dasar hukum dari akad ijarah adalah:

احْتَجَمَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَعْطَى الَّذي حَجَمَهُ أَجْرَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan bekam dan beliau memberi upah kepada yang membekamnya.” (HR. Bukhari)

Ilustrasi: Pemilik rumah telah menaksir harga rumah sebesar 750 juta. Setelah menemukan calon pembeli, dia menawarkan untuk menyewa rumah tersebut selama 10 tahun dengan biaya sewa sebesar 6 juta per bulan. Saat akad sewa disepakati, penyewa berjanji untuk membeli rumah tersebut setelah masa sewa berakhir. Janji ini bersifat tidak mengikat dan boleh dibatalkan oleh penyewa. Jika terjadi kerusakan pada rumah secara alami selama masa sewa, maka kerusakan ditanggung oleh pemilik. Setelah masa sewa berakhir, penyewa menunaikan janjinya dengan membeli rumah seharga 30 juta rupiah kepada pemilik.

Hal yang perlu diperhatikan dalam akad ini adalah pemilik rumah tidak boleh mengharuskan calon pembeli atau penyewa untuk membayar cicilan rumah serta biaya sewa dalam satu waktu sekaligus. Contohnya penyewa wajib membayar 75 juta setiap tahun dengan rincian 72 juta sebagai biaya sewa dan 3 juta untuk cicilan rumah. Perbuatan ini terlarang karena menggabungkan dua akad dalam satu transaksi. Begitu pula jika akad jual beli telah disepakati di awal bersamaan dengan akad sewa, di mana penyewa tidak bisa membatalkan akad jual beli tersebut, maka ini termasuk dalam larangan yang sama[3].

Baca juga: Mahar dalam Islam: Apa Hakikat dan Esesnsinya?

Pada umumnya, pemilik rumah akan melibatkan perantara yang membantunya untuk mencari pembeli. Perantara ini dapat direkrut oleh pemilik rumah dengan menggunakan akad samsarah (makelar) atau wakalah (wakil). Dalam akad samsarah, makelar hanya berfungsi sebagai perantara yang mempertemukan penjual dengan pembeli dan tidak melakukan akad jual beli dengan pembeli[4]. Sedangkan dalam akad wakalah, wakil melakukan transaksi dengan pembeli atas nama pemilik rumah dan hal-hal lain atas izin pemilik[5]. Persamaan antara keduanya adalah berhak mendapatkan upah dengan nominal yang tetap (fixed) dan tidak boleh menentukan harga jual sendiri tanpa sepengetahuan pemilik rumah.

Dijawab oleh: M. Syauqy Al Ghifary, M.E.
Artikel Fiqihmuamalah.com
Madinah, 4 Januari 2025


Referensi:

[1] Fatwa Dairah Al-Ifta’ Al-’Aam Yordania, Nomor 3923, Tahun 2024.

[2] Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Kitab Al-Buyu’ Bab Riba.

[3] Keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamiy Ad-Dauliy, Nomor 110 (4/12), Tahun 2000.

[4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Jilid 10, Halaman 152

[5] Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah, Halaman 232-233.

Related posts

Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dalam Islam: Suami atau Istri yang Mengatur?

Cara Bijak Mengajak Ibu Membagi Warisan Sesuai Syariat Islam

Menabung untuk Haji vs. Bersedekah: Haruskah Memilih Salah Satu?