Hibah dan Wasiat dalam Islam: Kasus Hibah Rumah dan Pembagian Warisan

Ketenangan dan keberkahan dalam setiap langkah kehidupan – bersama fiqihmuamalah.com.

Konsultasi Syariah 
Pertanyaan

Suami saya menerima uang dari ibu mertua sebesar 25 juta untuk membantu DP rumah yang kami cicil sendiri. Beberapa waktu kemudian, ibu mertua menyatakan bahwa rumah yang beliau tempati akan diberikan kepada adik suami. Tidak ada serah terima formal atau dokumen terkait. Setelah ibu mertua meninggal, adik suami mengklaim rumah tersebut. Apakah rumah tersebut menjadi hak adik suami? Bagaimana pembagian yang adil mengingat suami saya sudah menerima uang dari ibu? 

Ika – Jember

Baca juga: Titip Transfer untuk Teman: Memahami Apakah Termasuk Riba?

Jawaban Ringkas

Uang sebesar 25 juta yang diberikan kepada suami Anda dapat dianggap sebagai hibah yang sah. Adapun pernyataan ibu mertua terkait rumahnya untuk ditempati adik suami tidak dapat dianggap sebagai hibah, karena tidak memenuhi syarat-syarat hibah dalam Islam (ijab, qabul, dan qabd). Oleh karena itu, rumah tersebut dapat dianggap sebagai wasiat jika disetujui ahli waris lainnya, atau kembali menjadi bagian dari harta warisan jika tidak disetujui oleh seluruh ahli waris.

Namun demikian, Islam sangat menganjurkan keadilan dalam pemberian hibah kepada anak-anak. Maka untuk menjaga rasa keadilan dan keharmonisan dalam persaudaraan, seandainya rumah tersebut ditolak sebagai wasiat oleh seluruh warisan, maka pemberian yang telah diterima suami Anda sebelumnya (uang sebesar 25 juta), dapat dipertimbangkan untuk dibagi secara adil dengan adik suami, jika adik suami merasa perlu memperhitungkan hibah tersebut. Hal ini dilakukan demi memastikan setiap anak mendapatkan haknya dengan cara yang adil dan diridhai oleh semua pihak.

Baca juga: Bolehkah Menghibahkan Harta kepada Anak Laki-Laki Saja? Pendapat Syariat yang Perlu Anda Ketahu – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Jawaban Lengkap

Hibah dalam Islam

Hibah adalah pemberian harta secara sukarela dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup tanpa imbalan, dengan tujuan memindahkan hak kepemilikan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“…dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (QS. Al-Qashash: 77).

Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

تَهَادُوا تَحَابُّوا 

“Bertukarlah hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam al-Adabul Mufrad 594)

Agar hibah sah dalam syariat Islam, maka harus memenuhi tiga syarat utama:

  1. Ijab (pernyataan pemberian): Pemberi menyatakan dengan jelas bahwa ia menyerahkan barang tersebut sebagai hibah.
  2. Qabul (penerimaan): Penerima menyatakan setuju menerima hibah tersebut.
  3. Qabd (serah terima): Barang diserahkan secara nyata kepada penerima sehingga kepemilikan berpindah sepenuhnya.

Baca juga: Mahar dalam Islam: Hakikat dan juga Esensingya.

Hibah Kepada Anak

Dalam syariat, hibah kepada anak diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk menjaga keharmonisan keluarga. Namun, syariat mengatur bahwa hibah harus dilakukan dengan adil. Rasulullah ﷺ bersabda:

اِتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوْا فِيْ أَوْلاَدِكُمْ

“Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anakmu” (HR. Muslim 1623)

Dalam riwayat lain disebutkan:

وَإِنِّي لَا أَشْهَدُ إِلَّا عَلَى حَقٍّ

“Aku tidak mau menjadi saksi kecuali atas kebenaran (keadilan)” (HR. Muslim 1624)

Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni : “Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwa dianjurkan untuk memperlakukan anak-anak secara adil dan sangat tidak dianjurkan untuk membedakan antara mereka.” (Al-Mughni 8/259)

Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait konsep “keadilan” pada masalah hibah terhadap anak:

Baca juga: Bolehkan Meminta Cerai karena Kebencian?

Pendapat Pertama : Wajib Memberikan Hibah Sama Rata untuk Semua Anak

Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama, di mana ditekankan bahwa keadilan berarti memberikan bagian yang sama tanpa membedakan kebutuhan masing-masing. 

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

Dari An-Nu’man ibn Basyir, ia berkata bahwa ayahnya membawanya kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Saya telah memberikan budak ini kepada anak saya ini.” Rasulullah ﷺ bertanya, “Apakah kamu memberikan hadiah serupa kepada semua anakmu?” Dia menjawab, “Tidak.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Tarik kembali (hadiahmu).” (HR. Bukhari 2446)

Dalam riwayat lain, An-Nu’man ibn Basyir berkata: “Ayahku memberiku hadiah dari sebagian hartanya, tetapi ibuku, ‘Amrah binti Rawaahah, berkata, ‘Aku tidak akan menyetujuinya sampai kamu meminta Rasulullah ﷺ menjadi saksi atasnya.’ Maka ayahku pergi kepada Nabi ﷺ untuk memintanya menjadi saksi atas hadiah itu. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu melakukan hal yang sama untuk semua anakmu?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dan perlakukan anak-anakmu dengan adil.’ Maka ayahku kembali dan menarik kembali hadiah itu.” (HR. Bukhari 2447)

Menurut riwayat lain yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1623, Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Basyir, apakah kamu memiliki anak lain?” Dia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Apakah kamu memberikan semua dari mereka hadiah serupa?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Jangan meminta aku menjadi saksi atas ini, karena aku tidak bersaksi atas ketidakadilan.”

Dan tujuan dari hibah adalah untuk mempererat kasih sayang, sehingga semua anak berhak mendapat bagian yang sama. Mengutamakan sebagian anak di atas sebagian yang lain akan menimbulkan permusuhan dan kecemburuan di antara saudara, dan juga kebencian antara mereka dengan orang tuanya, sehingga hal itu tidak diperbolehkan

Pendapat Kedua : Hibah Tidak Harus Sama Rata, melainkan Berdasarkan Kebutuhan

Pendapat ini menyatakan bahwa makna keadilan ialah dengan mempertimbangkan kebutuhan masing-masing anak. Sehingga diperbolehkan membedakan antara anak-anak jika ada kebutuhan, alasan, atau udzur.

Yang menjadi dalil ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatta’, dengan sanad dari ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang berkata bahwa Abu Bakar As-Shiddiq telah memberinya hadiah berupa dua puluh wasaq dari hartanya. Namun, ketika beliau berada di akhir hayatnya, beliau berkata, “Demi Allah, wahai putriku, tidak ada seorang pun yang lebih aku sukai untuk menjadi kaya setelah aku meninggal selain engkau, dan tidak ada seorang pun yang lebih aku tidak suka jika menjadi miskin setelah aku meninggal selain engkau. Aku telah memberimu dua puluh wasaq, dan jika engkau telah mengambilnya, maka itu adalah milikmu. Jika tidak, apa pun yang aku tinggalkan harus dibagi di antara semua ahli warisku, yaitu dua saudara laki-lakimu dan dua saudara perempuanmu. Maka bagikanlah di antara kalian sesuai dengan kitabullah” (H.R. Imam Malik 40 dan Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam kitabnya Irwaul Gholil 1619)

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari: “Sanadnya sahih.”

Sisi pendalilan dari hadits ini yaitu sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah: “Mungkin Abu Bakr memberikan itu hanya kepada ‘Aisyah karena ia membutuhkan dan tidak mampu mencari nafkah, di samping ia memiliki status istimewa sebagai salah satu Ummul Mukminin dan memiliki keutamaan lainnya.”

(Dinukil dari al-Mughni, 8/258)

Namun demikian, Ibnu Qudamah menjelaskan lebih lanjut bahwa: jika seseorang mengutamakan sebagian anaknya dengan pemberian lebih, atau mendiskriminasi antara mereka dalam hal hibah tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia berdosa. Dalam hal ini, ia wajib memperbaiki keadilan dengan salah satu dari dua cara: mengembalikan kelebihan yang diberikan kepada sebagian anak, atau menyempurnakan bagian anak-anak yang lain agar setara.

Baca juga: Kekayaan: Nikmat atau Cobaan? Panduan Islami Mengelola Harta

Pendapat yang Rajih (wallahu’alam)

Jika semua anak memiliki kondisi dan kebutuhan yang sama (tidak ada faktor yang membedakan kebutuhan di antara anak-anak), maka dalam pemberian hibah, orang tua harus memberikan dalam jumlah yang sama rata, tanpa membedakan di antara mereka. Pendapat ini berdasarkan hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma yang telah disebutkan sebelumnya.

Namun, dalam kasus di mana kebutuhan anak-anak berbeda, keadilan tidak lagi berarti membagi sama rata, melainkan memberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Misalnya:

  • Salah satu anak membutuhkan biaya pendidikan tinggi, sementara yang lain telah menyelesaikan pendidikannya.
  • Salah satu anak memiliki kebutuhan khusus, seperti biaya pengobatan atau bantuan untuk memulai usaha.
  • Salah satu anak membutuhkan biaya pernikahan, sedangkan anak-anak lain sudah menikah.

Maka dalam situasi-situasi seperti ini, memberikan lebih kepada anak yang membutuhkan bukanlah bentuk ketidakadilan, melainkan bagian dari tanggung jawab orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya secara proporsional.

Dalil yang mendukung pandangan ini adalah kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang memberikan hibah kepada putrinya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan tidak memberikannya kepada saudara atau saudarinya yang lain. Ini menunjukkan bahwa perbedaan pemberian hibah dibolehkan jika didasarkan pada kebutuhan yang mendesak atau alasan yang kuat.

Para ulama seperti Ibn Qudamah dan Syaikh Ibnu Al-’Utsaimin menegaskan bahwa pemberian hibah yang berbeda dibolehkan jika didasarkan pada kebutuhan anak. Bahkan, pemberian ini menjadi bagian dari nafkah yang wajib bagi orang tua. Misalnya, jika salah satu anak memerlukan biaya pengobatan, maka orang tua wajib memenuhinya, tanpa harus memberi jumlah yang sama kepada anak-anak lain yang tidak memiliki kebutuhan tersebut.

Para ulama menyarankan agar anak-anak lain diberi penjelasan dan jika memungkinkan, dimintai keridhaan, agar tidak menimbulkan salah paham atau kecemburuan.

Baca juga: Ensiklopedia Muamalah Praktis #3: Macam-macam Jual Beli

Pemberian 25 Juta kepada Salah Satu Anak

Dalam kasus Anda, ibu mertua memberikan uang 25 juta kepada suami Anda, dan tidak kepada anaknya yang lain, sebagai bantuan untuk DP rumah, yang merupakan kebutuhan mendasar bagi keluarga Anda. Hal ini pada dasarnya dapat dibenarkan selama pemberian tersebut dilakukan dengan alasan yang syar’i, seperti:

  • Kebutuhan suami Anda untuk memulai kehidupan rumah tangga.
  • Tidak adanya kemampuan suami Anda untuk memenuhi kebutuhan tersebut sendiri tanpa bantuan.

Namun, keadilan tetap harus dijaga. Jika ibu mertua tidak memberikan bantuan serupa kepada anak lainnya (adik suami), maka bisa muncul pertanyaan terkait keadilan. Adik suami mungkin merasa diabaikan, terutama jika ia juga memiliki kebutuhan yang sama akan tempat tinggal.

Ketika ibu mertua mengungkapkan niatnya untuk memberikan rumah kepada adik suami, hal ini dapat dianggap sebagai bentuk kompensasi untuk menjaga keadilan antaranak. Namun jika suami Anda merasa bahwa ibu mertua tidak adil dalam memberikan hibah, maka hal ini perlu dibicarakan secara baik-baik.

Baca juga: Hak-Hak Bersama Suami dan Istri dalam Islam agar sakinah

Hibah Rumah Hanya Berdasarkan Perkataan Dari Pemberi

Dalam kasus yang Anda sampaikan, ibu mertua hanya menyatakan secara lisan bahwa adik suami akan menempati rumah tersebut tanpa adanya serah terima formal atau tindakan nyata seperti penyerahan kunci atau dokumen kepemilikan. Dalam hukum Islam, hibah dianggap sah jika ada tanda serah terima (qabd) yang menunjukkan perpindahan kepemilikan. Tanpa adanya qabd, maka hibah belum sempurna, sehingga kepemilikan rumah tidak berpindah kepada adik suami. (lihat jawaban pertanyaan di https://fiqihmuamalah.com/2145-hibah-rumah-tanpa-sertifikat-sah-atau-tidak-menurut-syariah.html)

Mengingat rumah tetap ditempati oleh ibu mertua hingga wafatnya, maka pernyataan ibu mertua yang ingin menyerahkan rumah tersebut untuk adik suami bisa dianggap wasiat.

Wasiat adalah pernyataan yang diberikan oleh seseorang (pewaris) tentang pembagian sebagian hartanya setelah dia meninggal dunia. Wasiat dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup, tetapi baru berlaku setelah ia wafat.

Jika wasiat ditujukan kepada ahli waris, maka wasiat tersebut hanya akan sah jika disertai dengan persetujuan ahli waris lainnya. Namun jika seluruh ahli waris lain tidak setuju, maka wasiat tersebut tertolak.

Baca juga: Karakteristik Istri Shalihah: Sahabat Sejati dalam Rumah Tangga – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Kesimpulan

Rumah tersebut belum memenuhi syarat sebagai hibah karena tidak ada serah terima resmi (qabd). Rumah tersebut dapat dianggap wasiat kepada adik suami jika disetujui ahli waris lainnya. Namun jika seluruh ahli waris menolak, maka rumah tersebut menjadi bagian dari harta warisan ibu mertua dan harus dibagi sesuai hukum waris Islam kepada seluruh ahli warisnya.

Terkait hibah 25 juta kepada suami Anda, pada dasarnya itu adalah hibah yang sah. Namun jika wasiat pemberian rumah untuk adik suami tersebut tertolak, maka terkait hibah uang sebesar 25 juta yang diberikan kepada suami anda dapat dipertimbangkan untuk dibagi kembali dengan adik suami jika adik suami menganggap hibah tersebut tidak adil dan mendzhaliminya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Baca juga: Menjadi Qawwam: Tugas dan Peran Suami dalam Islam

Dijawab oleh: M. Zuhdi, M.A
(Kandidat Doktor Ushul Fiqih, Universitas Islam Madinah)
Artikel Fiqihmuamalah.com
Madinah, 30 Desember 2024 M / 28 Jumadal Akhirah 1446 H


Referensi:

  • Al-Mughni. Cetakan ke-3, 1417 H. Ibnu Qudamah. Daar Alam Al-Kutub, Riyadh.
  • Al-Muwatta. 1406 H. Imam Malik bin Anas. Daar Ihya At-Thuros Al-’Arobiy, Beirut.
  • Al-Adabul Mufrad. Cetakan Pertama, 1419 H. Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
  • Shahih Muslim. 1374 H. Muslim bin Al-Hajaj. Matba’ah ‘Isa Al-Babi Al-Halabi, Kairo.
  • Irwaul Gholil. Cetakan ke-2, 1405 H. Muhammad Nashirudin al-Albani. Al-Maktabah Al-Islami, Beirut.

Related posts

Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dalam Islam: Suami atau Istri yang Mengatur?

Cara Bijak Mengajak Ibu Membagi Warisan Sesuai Syariat Islam

Menabung untuk Haji vs. Bersedekah: Haruskah Memilih Salah Satu?