Ensiklopedia Muamalah Praktis #3: Mengenal Rukun Keempat Akad Jual Beli

Ensiklopedia Muamalah dengan logo fiqihmuamalah.com di tengah, ditempatkan di meja perpustakaan yang dikelilingi rak buku, menciptakan suasana akademis dan intelektual.

ENSIKLOPEDIA MUAMALAH PRAKTIS #3
Oleh: Tim Penulis Fiqihmuamalah.com

Bab Jual Beli (bagian 3/4)

E. Rukun Keempat: Lafaz yang Digunakan untuk Akad Jual Beli

Akad jual beli dapat dilakukan dengan dua cara: melalui lafaz (ucapan) atau melalui tindakan.

1. Lafaz (ucapan)

Lafaz adalah bentuk ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan):

  • Ijab: ucapan yang dikeluarkan oleh penjual atau orang yang mewakilinya.
  • Qabul: ucapan yang dikeluarkan oleh pembeli atau orang yang mewakilinya.

Contoh bentuk lafaz ini adalah ketika penjual berkata kepada pembeli, “Saya menjual barang ini kepada Anda seharga sekian,” dan pembeli menjawab, “Saya terima.”

Tidak ada lafaz khusus yang diwajibkan untuk jual beli. Misalnya, penjual bisa menggunakan kata “Saya jual,” “Saya serahkan,” atau “Saya pindahkan kepemilikan kepada Anda.” Semua bentuk ucapan yang menunjukkan akad jual beli dianggap sah[1].

2. Tindakan (Mu’athah)
Akad jual beli juga bisa dilakukan melalui tindakan, yang dikenal dalam fiqih sebagai mu’athah. Dalam praktik ini, penjual menyerahkan barang kepada pembeli tanpa ucapan verbal. Para fuqaha menyatakan kebolehan bentuk akad ini. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk perbuatan yang jelas menunjukkan adanya akad dapat dianggap sah, karena muamalah tidak seperti ibadah yang terikat pada ketentuan tertentu[2].

Baca juga: Ensiklopedia Muamalah Praktis #1: Bab Jual Beli (1/3)

Beberapa Metode Akad Jual Beli yang Sering Terjadi

Pertama: Jual Beli dengan Tulisan dan Surat Menyurat

Akad dapat dilakukan melalui tulisan antara dua pihak yang hadir secara fisik, atau melalui tulisan dari salah satu pihak yang hadir kepada pihak lain yang tidak hadir. Contohnya, seorang penjual menulis, “Saya menjual rumah saya kepada Anda seharga sekian,” atau mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan tersebut. Jika pembeli menyetujui setelah membaca tulisan atau mendengar pesan dari utusan, maka akad dianggap sah[3].

Kedua: Jual Beli dengan Isyarat.

Jual beli dengan isyarat berlaku bagi orang yang bisu jika isyaratnya dapat dipahami, meskipun dia mampu menulis. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafi, karena baik isyarat maupun tulisan dianggap sebagai hujah (bukti).
Namun, jika isyarat tersebut tidak dapat dipahami, maka tidak dianggap sah. Sementara itu, bagi orang yang mampu berbicara, isyaratnya tidak diterima oleh mayoritas ulama. Mazhab Maliki berbeda pendapat dengan membolehkan jual beli dengan isyarat yang jelas, meskipun pelaku akad mampu berbicara[4].

Baca juga: Ensiklopedia Muamalah Praktis: Syarat-Syarat Sah dan Rusak dalam Jual Beli #2 – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Ensiklopedia Muamalah Praktis by Tim Penulis Fiqihmuamalah.com 


Referensi 

[1] Lihat Manhul Jalil (2/462), Jawahirul Iklil (2/2), Syarah Muntahal Iradat (2/140), Kasyaful Qina (3/146), Raudhatut Thalibin (499).

[2] Lihat Hasyiyah Dasuqi (3/3), Mughni Al Muhtaj (2/3), Syarah Muntahal Iradat (2/141).

[3] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (9/13).

[4] Ibid.

Related posts

Panduan Lengkap Zakat Fitrah: Jenis, Kadar, dan Cara Pembayarannya (Bagian 2)

Panduan Lengkap Zakat Fitrah: Definisi, Hukum, dan Hikmah (Bagian 1)

ENSIKLOPEDIA MUAMALAH PRAKTIS #4: Macam-Macam Jual Beli dalam Islam