Bolehkah Menjual Barang yang Sedang Dicicil?

Konsultasi Syariah

Hukum Menjual Barang yang Sedang Dicicil

Pertanyaan:

Apakah Boleh Menjual Barang yang Dicicil Sebelum Cicilan Lunas Kepada Orang lain?

Jawaban Ringkas:

Menjual barang yang dicicil sebelum lunas diperbolehkan dalam Islam dengan beberapa syarat: barang tersebut dijual kepada pihak ketiga, bukan kepada penjual pertama, untuk menghindari akad ‘inah yang terlarang. Selain itu, barang tidak boleh dijual kepada pihak yang berafiliasi dengan penjual pertama karena hal ini termasuk tawarruq munadzam, yang diharamkan.

Baca juga: Apa Perbedaan Infak dan Sedekah? Pengertian beserta dalilnya

Jawaban Lengkap:

Untuk menjawab secara runut pertanyaan di atas maka perlu diketahui dulu konsep transaksi Jual Beli Kredit dengan menjual kembali ke pihak lain

Pada prinsipnya, menjual barang yang dicicil kepada orang lain melibatkan dua jenis akad:

  1. Akad Jual Barang dengan Pembayaran Dicicil: Penjual menjual barang dengan pembayaran secara bertahap, biasanya dengan harga lebih tinggi dibandingkan pembayaran tunai karena adanya tenggang waktu.
  2. Menjual Barang Sebelum Lunas Cicilan: Pembeli menjual barang yang belum lunas cicilannya kepada orang lain untuk mendapatkan dana tunai.

Baca juga: Contoh Pengelolaan Produktif untuk Pembangunan Ekonomi Umat

Hukum Jual Barang dengan Cara Dicicil

Gambarannya adalah pihak pertama (penjual) menjual barang kepada pihak kedua (pembeli) dengan pembayaran ditangguhkan dengan pertambahan harga barang akibat penangguhan pembayaran tersebut.

Contoh konkret:

Pemilik toko mobil menjual mobil dengan harga tunai senilai 500 juta. Kemudian ada seorang pembeli ingin membeli mobil tersebut dengan cara dicicil selama 5 tahun dengan harga 550 juta.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah ini. Sebagian membolehkan, sementara sebagian lainnya mengharamkan

Pandangan Ulama tentang Akad Cicilan

Pendapat Pertama: Boleh

Pendapat mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa menjual barang dengan pembayaran dicicil (berangsur) diperbolehkan meskipun harga barang dengan pembayaran dicicil lebih tinggi dari pada harganya dengan pembayaran tunai.

Dalil-dalil pendapat pertama:
  • Firman Allah ta’ala:

وأحل الله البيع

Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan segala bentuk jual beli” Al-Baqarah: 275.

Dalam ayat di atas Allah –Azza wa jalla– menghalalkan segala bentuk jual beli. Dan jual beli dengan cara dicicil diiringi dengan pertambahan harga masuk ke dalam keumuman dalil ini, maka dari itu diperbolehkan.

  • Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang bathil, kecuali cara jual beli yang berdasarkan keridhaan di antara kalian”. An-Nisaa:29.

Ayat di atas membolehkan akad jual beli yang berlandaskan keridhaan kedua belah pihak. Dan akad jual beli dengan cara dicicil dengan diiringi pertambahan harga masuk ke dalam keumuman dalil ini, karena keduanya sepakat dan ridha untuk melakukan transaksi tersebut.

  • Hadis Aisyah -Radhiyallu’anha-

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“Bahwasanya Nabi – Shalallahu ‘alaihi wa sallam- pernah membeli makanan (gandum) dari seorang yahudi dengan cara ditangguhkan pembayarannya, dan beliau menggadaikan baju besinya pada orang yahudi tersebut.” (Bukhari 2068 dan Muslim 1603)

Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah pernah bertransaksi dengan orang Yahudi. Dalam adat kebiasaan mereka, sering ada tambahan nilai karena pembayaran ditunda. Namun, Rasulullah tetap melakukannya. Ini berarti bahwa transaksi seperti itu tidak dianggap riba.

Baca juga: Zakat dalam Islam: Definisi, Hukum, Jenis, dan Syarat-Syaratnya – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Pendapat Kedua: Tidak Boleh

Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Dalil pendapat ini:

Hal ini dilarang karena sama saja dengan riba piutang. Riba piutang pada dasarnya adalah tambahan nilai utang yang disebabkan oleh perpanjangan waktu pembayaran. Hal serupa terjadi dalam jual beli secara cicilan, di mana harga menjadi lebih mahal karena adanya tambahan waktu pembayaran .

Pendapat yang Paling Rajih:

Pendapat yang paling tepat adalah pendapat mayoritas ulama, di mana pembayaran secara cicilan diperbolehkan dan sah.

Bantahan Pendapat Bahwa Pertambahan Harga pada Akad Jual dengan Cara Dicicil adalah Riba

Pendapat yang melarang tambahan harga karena tenggang waktu pembayaran (tempo) dengan alasan itu adalah riba, sebenarnya tidak tepat. Hal ini karena ada perbedaan antara tambahan dalam utang (yang menjadi riba) dan tambahan harga dalam jual beli cicilan. Tambahan dalam utang (riba) terjadi semata-mata karena penundaan pembayaran dan ini tidak boleh sesuai dengan kaidah yang berbunyi “Setiap manfaat yang didapatkan karena akad piutang adalah riba”.

Sedangkan, dalam konteks jual beli cicilan, tambahan harga dianggap sebagai bagian dari kesepakatan jual beli, bukan riba. Penjual biasanya memberikan dua pilihan harga saat menawarkan barang: “Saya menjual barang ini dengan harga sekian jika dibayar tunai, dan dengan harga sekian jika dibayar secara cicilan.” Pembeli kemudian memilih salah satu opsi yang sesuai baginya, dan kesepakatan pun terjadi berdasarkan salah satu cara yang telah disetujui bersama.

Yang tidak diperbolehkan adalah jika penjual menawarkan harga cicilan tertentu, lalu saat pembeli telat membayar, penjual menambahkan biaya tambahan karena keterlambatan tersebut. Hal ini termasuk riba jahiliyah dan dilarang.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli secara cicilan adalah akad yang sah. leh karena itu, hak kepemilikan barang berpindah kepada pembeli, sehingga pembeli bebas menjual barang tersebut kepada orang lain untuk mendapatkan uang tunai. Namun, pembeli tetap memiliki kewajiban untuk melunasi cicilan kepada penjual pertama. Proses seperti ini dikenal dengan istilah akad tawarruq.

Baca juga: Mengapa deposito di bank konvensional termasuk riba? – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Syarat Sah Menjual Barang yang Dicicil (Akad Tawarruq)

Agar menjual barang yang dicicil (akad tawarruq) menjadi sah, maka perlu diperhatikan hal berikut:

  1. Tidak Menjual kepada Penjual Pertama
    Menjual barang yang dicicil kembali kepada penjual pertama disebut akad ‘inah, yang dilarang karena menyerupai riba.
  2. Tidak Menjual kepada Pihak yang Berafiliasi dengan Penjual Pertama
    Menjual barang kepada pihak yang terkait dengan penjual pertama disebut tawarruq munadzam, yang diharamkan berdasarkan keputusan Majma’ Fiqh Islami tahun 2009.

Baca juga: Dampak Maksiat Merusak Kehidupan

Kesimpulan

Menjual barang yang dicicil sebelum lunas diperbolehkan selama:

  • Barang dijual kepada pihak ketiga, bukan kepada penjual pertama.
  • Transaksi tidak melibatkan pihak yang berafiliasi dengan penjual pertama.

Dengan mematuhi syarat-syarat ini, jual beli dianggap sah sesuai syariat Islam.

Dijawab: Asep Ridwan Taufiq, B.A., M.A

(Kandidat Doktor Ekonomi Islam, Universitas Islam Madinah)

Artikel: Fiqihmumalah.com

Madinah, 2 Desember 2024 M / 1 Jumadil Akhir 1445 H

 

Related posts

Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga dalam Islam: Suami atau Istri yang Mengatur?

Cara Bijak Mengajak Ibu Membagi Warisan Sesuai Syariat Islam

Menabung untuk Haji vs. Bersedekah: Haruskah Memilih Salah Satu?