Bahaya Ghibah: Jangan Sepelekan Dosa Besar Ini

Petir yang menyambar di tengah kegelapan melambangkan dampak besar ghibah yang sering kali dianggap remeh.

BAHAYA GHIBAH: JAUHI SEBELUM TERLAMBAT

Apa itu Ghibah?

Ketahuilah, sesungguhnya ghibah adalah salah satu perbuatan yang buruk dan terkadang dianggap sebagai hal yang sepele atau biasa dilakukan dalam percakapan sehari-hari, ghibah memiliki dampak yang sangat besar, baik dari segi sosial maupun spiritual. Ghibah bukan hanya merusak hubungan antar sesama, tetapi juga dapat menggugurkan pahala dan mendatangkan dosa besar. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memahami betapa berbahayanya perbuatan ini dan berusaha menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari.

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, ghibah adalah menyebutkan seseorang dengan sesuatu yang ada pada dirinya yang tidak ia sukai, baik itu terkait tubuhnya, agamanya, urusan dunianya, sifatnya, hartanya, anaknya, orang tuanya,  istrinya, pakaiannya, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan orang tersebut. Secara lisan, tulisan atau isyarat yang ditujukan kepada orang tersebut. (Al Adzkar An Nawawiyyah: 562). 

Baca juga: Perbaiki diri sendiri untuk bisa berdakwah dengan baik dan benar

Hukum Ghibah 

Para ulama telah sepakat bahwa ghibah adalah perbuatan yang dilarang dan hukumnya adalah haram, berdasarkan dalil dari Al Quran dan sunnah. Allah ta’ala berfirman, 

وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Dan janganlah kalian menggunjing satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat: 12). 

Allah berfirman dalam ayat yang lain, 

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ

Celakalah Bagi setiap pengumpat lagi pencela”. (QS. Al Humazah: 1). 

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan “al humazah” adalah seseorang yang  membicarakan orang lain di belakang mereka yang dapat menyakiti hati orang tersebut. Sedangkan “al lumazah” adalah seseorang yang suka mencela dan menyakiti perasaan orang lain secara langsung di depan mereka. (Al Adzkar An Nawawiyyah: 563). 

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ؟. قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ؛ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ ما تقول؛ فَقَدْ بَهَتَّهُ.

Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai”. Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Beliau berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya”. (HR. Muslim no. 2589, Abu Daud no. 4874, Tirmidzi no. 1934 dan An Nasai no. 13985 dalam Al Kubra). 

Baca juga: Menjadi Qawwam: Tugas dan Peran Suami dalam Islam

Apakah orang yang mendengarkan ghibah juga mendapatkan dosa? 

Tidak diragukan lagi, bahwa orang yang mendengarkan ghibah seseorang dan tidak berusaha mencegahnya atau menghentikannya dianggap berpartisipasi dalam perbuatan dosa tersebut. Allah ta’ala  berfirman, 

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al Maidah: 2). 

Wajib bagi seseorang yang mendengarkan orang yang mengghibahi orang lain untuk mencegahnya, baik dengan tangannya atau lisannya, jika tidak dikhawatirkan terjadinya bahaya pada dirinya. Namun, jika ia takut, maka wajib baginya untuk membenci perbuatan tersebut dengan hatinya dan meninggalkan tempat tersebut. 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

 سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: “مَن رَأَى مِنْكُمْ مُنكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِن لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلسَانِهِ، فَإِن لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ingkarilah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman””. (HR. Muslim no. 49). 

Baca juga: Nasihat yang Mengubah Hidup di Universitas Islam Madinah: Pengalaman Pribadi

Balasan bagi orang yang melakukan ghibah

Telah kita ketahui, bahwa ghibah adalah perbuatan yang diharamkan, dan segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini akan dicatat di lembar amal perbuatan dan akan dihisab oleh Allah ta’ala di akhirat kelak. Saudaraku, renungilah firman Allah ta’ala

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.

Dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ

Dan seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka Jahannam”. (HR. Bukhari no. 6478)

Baca juga: Karakteristik Istri Shalihah: Sahabat Sejati dalam Rumah Tangga – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Ghibah yang dibolehkan 

Ketauhilah saudaraku, ghibah dalam Islam hukum asalnya adalah haram. Namun, ada beberapa kondisi di mana ghibah dibolehkan, di antaranya sebagai berikut: 

Pertama: Mengadukan tindak kedzaliman. Jika seseorang merasa dizalimi atau teraniaya, lalu mengungkapkan perbuatan buruk orang yang menzalimi untuk mencari keadilan atau haknya kepada pihak berwenang, seperti hakim, pemimpin atau orang yang dapat menghentikan kedzoliman tersebut. Maka ini boleh. 

Kedua: Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu kemungkaran dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. seperti meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, seperti mengatakan, “Pak RT, tolong kami, tetangga di sebelah suka mendengarkan musik dengan suara keras”. 

Ketiga: Meminta fatwa atau bimbingan. Jika seseorang datang meminta fatwa atau bimbingan, dan dalam proses itu diperlukan untuk menyebutkan keburukan seseorang demi memberikan jawaban yang sesuai, maka itu dibolehkan.

Keempat: Memperingatkan orang lain dari kejahatan atau dosa. Jika seseorang melakukan perbuatan dosa atau kejahatan yang dapat membahayakan orang lain, kita boleh menyebutkan perbuatan tersebut untuk menghindari kerugian atau bahaya pada orang lain. Ini bisa dilakukan dalam konteks memberikan peringatan atau menasihati.

Kelima: Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat atau bid’ah. Misalnya, ada seseorang yang mempertontonkan dirinya meminum khamr di bulan Ramadan atau bahkan memperlihatkan perbuatannya yang menumpahkan darah dengan cara menganiaya.
Namun, ghibah hanya pada dosa yang dipertontonkannya secara terang-terangan tersebut saja dan bukan pada hal yang lain. 

Keenam: Saat memperkenalkan seseorang. Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya, seperti menyebutnya, “si buta” atau “si tuli”. Maka ini tidak mengapa, selama tidak berniat menghina orang tersebut. Bila dengan sengaja menghina maka hukumnya haram. (Al Adzkar An Nawawiyyah: 569-570). 

Semoga kita dijadikan orang-orang yang menghindari ghibah dan mengingatkan kaum muslimin lainnya agar tidak melakukan perbuatan dosa besar tersebut.  Wallahuta’ala a’lam

Baca juga: Mengapa deposito di bank konvensional termasuk riba? – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Rujukan:  

  1. Al Adzkar An Nawawiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1442 H. Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqiy. Tahqiq: Syaikh Dr. Amir bin Ali Yasin. Damam: Dar Ibnul Jauzi. 

Baca juga: Perencanaa keuangan syariah ternyata sangat penting buat kita!

Diselesaikan oleh: Aditya Prayogo

Artikel: fiqihmuamalah.com

Sabtu, 14 Jumadil awwal 1446 H/ 16 November 2024. Universitas Islam Madinah.

Related posts

Puasa Syawal: Hukum dan Keutamaannya dalam Islam

Istiqamah Setelah Ramadhan: Terus Dekat dengan Allah

10 Amalan Sunnah dan Adab di Hari Raya Idulfitri Sesuai Tuntunan Nabi ﷺ