Pentingnya Peran Keluarga dalam Islam: Fondasi Kehidupan yang Kuat dan Penuh Kasih

Suasana pedesaan yang damai menggambarkan ketenangan dan keharmonisan, sejalan dengan nilai keluarga dalam Islam.

Pentingnya Keluarga dalam Agama Islam

Pengantar

Keluarga adalah landasan suatu masyarakat. Apabila keluarga itu baik, maka baiklah pula masyarakat tersebut, akan tetapi apabila keluarga itu buruk, maka buruklah pula masyarakatnya. Oleh karena hal itu, agama Islam benar-benar memberi perhatian besar pada perkara keluarga, dan agama Islam juga mendorong untuk menjadikan keluarga sebagai fondasi yang kuat, dan pilar yang penting dalam menjaga persatuan, ketenteraman, serta rasa kasih sayang.

Baca juga: “Lihat Kebaikan Pasanganmu: Kunci Keharmonisan Rumah Tangga dalam Islam” – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

 

6 Alasan keluarga menjadi fondasi penting dalam islam

 

1. Keluarga dapat menjalin ikatan dan hubungan erat dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan adanya keluarga, bisa terjalin ikatan dan hubungan yang baik di masyarakat, sebagaimana Allah berfirman: 

 

وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ مِنَ ٱلْمَآءِ بَشَرًۭا فَجَعَلَهُۥ نَسَبًۭا وَصِهْرًۭا 

“Dan Dia (Allah) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan muṣāharah (Muṣāharah: hubungan kekeluargaan yang berasal dari hubungan pernikahan, seperti menantu, ipar, mertua, dan sebagainya).” [QS. Al-Furqan: 54]

 

Imam Ibnu Katsir rahimahullah seraya menafsirkan ayat ini, ia berkata:

أَيْ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ ضَعِيفَةٍ فَسَوَّاهُ وعدله وجعله كامل الخلقة ذكرا وأنثى، كَمَا يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً فَهُوَ فِي ابْتِدَاءِ أَمْرِهِ وَلَدٌ نَسِيبٌ، ثُمَّ يَتَزَوَّجُ فَيَصِيرُ صِهْرًا، ثُمَّ يَصِيرُ لَهُ أَصْهَارٌ وَأُخْتَانٌ وَقَرَابَاتٌ، وَكُلُّ ذَلِكَ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ

 

“Allah menciptakan manusia dari setetes air yang lemah (yaitu dari sperma). Kemudian Dia menyempurnakan bentuknya, menjadikannya sebagai makhluk yang lengkap, baik laki-laki maupun perempuan, sesuai kehendak-Nya. Allah menjadikannya memiliki hubungan keturunan (nasab) dan hubungan pernikahan (shihir).

Pada awalnya, seseorang lahir sebagai anak dalam hubungan nasab. Kemudian, ketika dia menikah, dia menjadi seorang mertua (shihir). Setelah itu, dia memiliki keluarga baru melalui hubungan pernikahan, seperti saudara ipar dan kerabat lainnya. Semua ini berasal dari setetes air yang rendah (tidak berharga).”

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun asal penciptaan manusia tampak lemah dan sederhana, Allah memberinya kehormatan dengan menjadikannya memiliki keturunan, kerabat, dan keluarga.

Baca juga: Komunikasi dalam Rumah Tangga: Meneladani Rasulullah SAW

 

2.Agama Islam memotivasi kita untuk berkeluarga, yaitu melalui pernikahan.

Manusia adalah makhluk sosial. Apabila keluarga itu kuat, maka masyarakat akan kuat. Jika keluarga lemah, maka masyarakat pun akan lemah, sehingga hubungan sosial antar manusia akan terputus. Oleh karenanya, memperkuat hubungan sosial antar manusia tidak akan tercapai, kecuali dengan membentuk suatu keluarga, dan membentuk suatu keluarga tidak akan bisa dicapai, kecuali melalui pernikahan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةًۭ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ ۚ أَفَبِٱلْبَـٰطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ ٱللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”. [QS. An-Nahl: 72]

 

3. Pernikahan adalah sunnah (tuntunan) para Rasul.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًۭا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًۭا وَذُرِّيَّةًۭ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” [QS. Ar-Ra’d: 38]

Imam At-Thabari rahimahullah berkata dalam tafsirnya:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا يَا مُحَمَّدُ رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ إِلَى أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِ أُمَّتِكَ فَجَعَلْنَاهُمْ بَشَرًا مِثْلَكَ، لَهُمْ أَزْوَاجٌ يَنْكِحُونَ، وَذُرِّيَّةً أَنْسَلُوهُمْ، وَلَمْ نَجْعَلْهُمْ مَلَائِكَةً لَا يَأْكُلُونَ، وَلَا يَشْرَبُونَ، وَلَا يَنْكِحُونَ، فَنَجْعَلُ الرَّسُولَ إِلَى قَوْمِكَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مِثْلَهُمْ، وَلَكِنْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ بَشَرًا مِثْلَهُمْ، كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى مَنْ قَبْلِهِمْ مِنْ سَائِرِ الْأُمَمِ بَشَرًا مِثْلَهُمْ

 

“Dan sungguh, Kami telah mengutus – wahai Muhammad – rasul-rasul sebelum engkau kepada umat-umat yang telah berlalu sebelum umatmu. Kami menjadikan mereka sebagai manusia sepertimu, yang memiliki pasangan hidup yang mereka nikahi, dan keturunan yang mereka hasilkan. Kami tidak menjadikan mereka sebagai malaikat yang tidak makan, tidak minum, dan tidak menikah. Maka, Kami juga tidak mengutus malaikat sebagai rasul kepada kaummu yang sama seperti malaikat itu. Namun, Kami mengutus kepada mereka seorang manusia seperti mereka, sebagaimana Kami telah mengutus kepada umat-umat sebelumnya seorang manusia seperti mereka.”

Hal ini menjelaskan bahwa rasul-rasul sebelumnya adalah manusia biasa dengan sifat-sifat manusiawi, sama seperti Nabi Muhammad ﷺ.

 

4. Pernikahan adalah jalan menuju kecukupan dan kekayaan.

Sesungguhnya Allah menjanjikan bahwa pernikahan akan membawa rezeki dan kecukupan bagi pasangan yang menikah. Jika mereka sebelumnya miskin, Allah akan mengaruniakan rezeki dari kelimpahan-Nya sebagai bentuk keberkahan. 

Allah ta’ala berfirman:

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَـٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّـٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌۭ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih bujangan di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [QS. An-Nur: 32]

 

Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dapat menjadi sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, dengan bertambahnya dukungan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, menikah adalah jalan menuju kecukupan dan bahkan kekayaan, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah.

Baca juga: MENIKAH, KENAPA HARUS? – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

 

5. Pernikahan adalah ketenangan bagi jiwa.

Bahwasannya salah satu hikmah dari pernikahan adalah terciptanya ketenangan, ketenteraman, dan kenyamanan dalam hati. Allah menjadikan pasangan hidup agar manusia bisa saling melengkapi dan menenangkan. Rasa kasih dan sayang yang terjalin di antara suami dan istri adalah karunia Allah yang membuat hidup lebih seimbang dan bahagia. Ketenangan ini membantu seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, dan ia juga menjadi tanda kebesaran Allah yang mendorong manusia untuk berpikir dan merenungkan kekuasaan-Nya. 

Sebagaimana Allah berfirman:

وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ

 

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar-Rum: 21]

 

6. Pernikahan adalah cara untuk memperbanyak keturunan manusia dan merupakan sebab kelangsungan hidup.

Sesungguhnya pernikahan adalah jalan utama untuk melestarikan generasi manusia. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan agar mereka dapat melahirkan keturunan yang banyak, sehingga kelangsungan hidup manusia terus berlanjut. Selain itu, memperbanyak keturunan merupakan salah satu tujuan utama dari pernikahan dalam Islam, karena dengan demikian keluarga besar dapat terbentuk, memberikan manfaat bagi masyarakat, dan membantu dalam penyebaran nilai-nilai kebaikan dan ketakwaan.

Allah berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍۢ وَٰحِدَةٍۢ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًۭا كَثِيرًۭا وَنِسَآءًۭ

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” [QS. An-Nisa: 1]

As-Syeikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan ketakwaan kepada-Nya karena Dialah yang menciptakan, memberi rezeki, dan mencukupi kebutuhan manusia. Dia menciptakan mereka dari satu jiwa (Adam) dan dari situ pula Dia menciptakan pasangannya (Hawa), sehingga mereka saling menemukan ketenangan dan kebahagiaan. Allah mengetahui segala sesuatu tentang hamba-hamba-Nya, dan dengan memerhatikan hubungan keluarga serta menjaga silaturahmi, manusia dapat menjalankan hak-hak Allah dan hak-hak sesama, terutama kerabat dekat, sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya.

Dari sini bisa kita ambil pelajaran, bahwa keluarga adalah pilar yang penting dalam agama Islam yang berperan dalam membangun masyarakat yang baik. Agama Islam mendorong pembentukan keluarga melalui pernikahan sebagai sarana ketenangan jiwa, kecukupan rezeki, serta keberlangsungan keturunan. Dengan menjaga hubungan keluarga dan silaturahmi, kita dapat menjalankan hak-hak Allah dan sesama manusia, serta memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat.

Baca juga: Nasihat Islami: Memilih Suami yang Baik dan Menghindari Pria Ringan Tangan

Oleh: Raja Aby Affan.

Artikel: fiqihmuamalah.com

Madinah, 7 November 2024 M / 5 Jumadal Ula 1446 H.


Referensi

 

  • Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari. Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an. Kairo: Dar Hajr, Cet. Ke-1, 1422 H.
  • Imaduddin Abu Al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqi. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, Cet. Ke-1, 1419 H.
  • Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah As-Sa’di. Taysirul Karim Ar-Rahman fi Tafsir kalamil Mannan. Beirut: Ar-Risalah, Cet. Ke-1, 1420 H.
  • Sulthan bin Umar bin Abdul Aziz Al-Hushayyin. An-Nudzhum Al-Islamiyah – Dirasat fi At-Tsaqafah Al-Islamiyah. Madinah: Kuliyatul Masjid An-Nabawi, Cet. Ke-1, 1445 H.

 

 

Related posts

Puasa Syawal: Hukum dan Keutamaannya dalam Islam

Istiqamah Setelah Ramadhan: Terus Dekat dengan Allah

10 Amalan Sunnah dan Adab di Hari Raya Idulfitri Sesuai Tuntunan Nabi ﷺ