Enam Cara Maksiat Merusak Kehidupan: Perlukah Kita Berhenti Sekarang?

Apokalips Kota: Ilustrasi Kehancuran Urban Akibat Kemaksiatan

Bahaya Maksiat

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan dengan berbagai godaan yang dapat menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Dampak maksiat tidak hanya merusak hubungan seorang hamba dengan Rabb-Nya, tetapi juga mengganggu ketenangan hati dan jiwa, menghilangkan keberkahan serta akan mendapatkan azab yang pedih di dunia maupun di akhirat. Sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah dan patuh kepada Allah ta’ala, menjaga diri dari maksiat adalah bagian penting dalam menjaga keberkahan hidup. Sekecil apapun perbuatan yang dilakukan pasti akan tercatat di lembaran catatan amal perbuatan. Allah ta’ala berfirman,

وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُّسْتَطَرٌ

“Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis”. (QS. Al-Qamar: 53).

Pengertian Maksiat

Maksiat secara bahasa, berasal dari kata العِصْيَان “al-‘isyan” yang berarti lawan dari ketaatan. Adapun secara istilah, maksiat adalah meninggalkan apa yang Allah ta’ala dan Rasul-Nya perintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang Allah ta’ala dan Rasul-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang tampak atau tersembunyi.

         Kata al-‘isyan juga sering dijumpai dalam berbagai ayat Al-Quran dan hadits dengan makna dosa, kesalahan, keburukan, kejahatan, kefasikan, kerusakan, dan lainnya. Maksiat pada waktu dan tempat tertentu, seperti di bulan-bulan haram atau di tanah haram, lebih besar dan berat dosanya daripada di tempat atau waktu selainnya[1].

Baca juga: perencanaan-keuangan-islami-konsumerisme

Dampak Buruk Maksiat

Maksiat memiliki berbagai dampak buruk bagi seorang hamba, baik bagi kehidupan dunia maupun di akhirat. Bahkan, terkadang seseorang tidak melihat dampak dosa tersebut secara langsung, kecuali setelah berpuluh tahun ia hidup. Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ menyebutkan beberapa dampak buruk perbuatan maksiat yang akan dirasakan oleh pelakunya, di antaranya sebagai berikut:

      1.Terhalangnya memperoleh ilmu yang bermanfaat

Ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan kedalam hati seorang hamba, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata dalam syairnya:

شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي        فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي

وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ                وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي

“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ (gurunya) tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat”[2].

      2. Menghalangi datangnya rezeki

Disebutkan dalam al-Musnad, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَجُلَ ليَحْرُم الرِزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُه

“Sungguh seorang hamba akan terhalang dari rizki karena dosa yang diperbuatnya”. HR. Ahmad (22386) dan Ibnu Majah (90). Dinyatakan hasan oleh syaikh Al-Albani[3].

Sebagaimana takwa kepada Allah adalah perkara yang mendatangkan rezeki, maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran. Allah ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (QS. At-Talaq: 2-3).

     3.Terhalangnya ketaatan

Setiap kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba akan semakin menjauhkan dirinya dari ketaatan kepada Allah. Ketika seseorang terbiasa bermaksiat, maka ia akan merasa sulit untuk melakukan amal shalih dan ketaatan. Hal ini bagaikan seseorang yang memakan suatu hidangan, yang menyebabkan sakit berkepanjangan sehingga ia tidak bisa lagi menikmati hidangan yang lebih enak dari hidangan tersebut[4].

    4. Membuat semua urusan dipersulit

Tidaklah pelaku kemaksiatan melakukan suatu urusan, kecuali ia akan menemui berbagai kesulitan serta musibah dalam mengerjakannya. Sekiranya ia bertakwa kepada Allah, niscaya urusanmu akan dimudahkan oleh Allah, maka sebaliknya jika bermaksiat kepada Allah, maka akan dipersulit urusannya[5]. Allah ta’ala berfirman,

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (Asy-Syura: 30).

     5.Mematikan hati

Kemaksiatan berulang-ulang akan menyebabkan hati menjadi keras dan tertutup dari cahaya hidayah sehingga mematikan hati. Dari Abu Hurairah radhiaallahu ‘anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْمؤمنَ إذا أَذْنَبَ ذَنباً نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا تاب ونَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ زَادَ زَادَت فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، فَذالِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}

“Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan satu dosa, maka akan ada satu titik hitam di hatinya. Jika ia bertaubat dan berhenti dari dosa tersebut, serta memohon ampunan, maka hatinya akan kembali bersih. Namun, jika ia terus melakukan dosa, maka titik hitam itu akan bertambah hingga menutupi seluruh hatinya. Inilah tutup yang disebutkan Allah ta’ala dalam firmannya, Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS. Muthaffifin: 14)”. HR. Ahmad (7952), At-Tirmidzi (3334), Ibnu Majah (4244). Dinyatakan hasan shahih oleh imam At-Tirmidzi dan hasan oleh syaikh Al-Albani[6].

Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah mengatakan,

رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُـمِيتُ الْقُلُوبَ   وَقَدْ يُـوَرِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا

وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا

“Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati, dan kecanduan pada dosa mendatangkan kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan lebih baik bagi jiwamu untuk melawannya”[7].

     6. Menghilangkan nikmat mendatangkan adzab

Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan nikmat dan mendatangkan adzab. Tidaklah suatu nikmat hilang dari seorang hamba, malainkan karena dosa yang ia lakukan. Tidaklah juga adzab yang menimpanya melainkan disebabkan dosa dan kemaksiatan. Jika seorang hamba mengubah kemaksiatan menjadi ketaatan kepada Allah ta’ala niscaya Ia akan mengubah hukuman menjadi kesejahteraan, serta kehinaan menjadi kemuliaan. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ

… Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki suatu keburukan terhadap suatu kaum, maka tiada ada yang menolaknya; dan sekali-kali tidak ada perlindungan bagi mereka selain Dia”. (QS. Ar-Rad: 11).

   ‘Ali bin Abi Thalib berkata,

مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلاَّ بِذنْبٍ, ولاَ رَفَعَ بَلاَءُ إلاَّ بِتَوبَةٍ

“Tidaklah adzab itu diturunkan melainkan karena dosa, dan tidaklah bencana itu diangkat melainkan karena taubat”[8].

Baca juga: Rezeki Sempit: Penyebab dan Solusinya dalam Prespektif Islam

Kesimpulan

Sebagai hamba yang beriman, penting bagi kita untuk menjauhi kemaksiatan dan memperbanyak istighfar serta bertaubat kepada Allah ta’ala. Taubat yang tulus akan menghapus dosa-dosa dan membawa kita kembali kepada jalan yang diridhai oleh Allah ta’ala. Dengan menjauhi kemaksiatan, kita akan meraih ketenangan jiwa, keberkahan hidup, serta keselamatan di dunia dan akhirat. Semoga Allah ta’ala selalu memberi kita hidayah dan taufik untuk menjauhi dosa dan menjaga keimanan kita. Amiin.

Baca juga: Sukuk: Investasi Cerdas yang Berlandaskan Syariah – Fiqih Muamalah – Gerbang pertama anda menuju keberkahan

Referensi:

  1. Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, Tahqiq: Syaikh Abu Abdurrahman Nidhal bin Abdul Karim bin Musa Aga Al-Barazi. (2024). Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawab Al-Kaafi liman Saala ‘an Ad-Dawaa Asy-Syaafi). Cetakan pertama. Maktabah Sutur al-Bahsu al-Ilmi, Madinah Al-Munawwarah.
  2. Syaikh Ibrahim bin ‘Abdullah Al-Mazru’i. (2020). Athar Al-Ma’asi ‘ala Al-fardi wa Al-Mujtama’ (Ebook). https://www.baynoona.net Diakses 22 Oktober 2024

Oleh: Aditya Prayogo

Disusun di malam hari, Jumat, 22 Rabi’ul akhir 1446 H (25/10/2024)

Wihdah 11 UIM, Madinah-KSA.

[1] Lihat Athar Al-Ma’asi ‘ala Al-fardi wa Al-Mujtama’, hal 16.

[2] Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal 248.

[3] Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal 249.

[4] Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal 253.

[5] Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal 251.

[6] Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal 239.

[7] Lihat Athar Al-Ma’asi ‘ala Al-fardi wa Al-Mujtama’, hal 16.

[8] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Damaskus (26/359). Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal 305.

 

Related posts

Puasa Syawal: Hukum dan Keutamaannya dalam Islam

Istiqamah Setelah Ramadhan: Terus Dekat dengan Allah

10 Amalan Sunnah dan Adab di Hari Raya Idulfitri Sesuai Tuntunan Nabi ﷺ